Berpayung Tuan Tamalan

Kepada hati yang mencintai
bagai tumbuhan menanti hujan dan
matahari, semoga cintamu di bumi
terkenang abadi.”

“I’m tying the knot next month.”

Apa kalian pernah membayangkan, diam kini menjadi satu-satunya jawaban—kala manusia yang dulu pernah begitu kita sayang di jantung perasaan, ia akan melabuhkan hatinya untuk bersanding dengan orang lain di pelaminan?

Dua puluh lima tahun gadis itu hidup di dunia. Sudah tidak ada lagi embun dan hujan tentang dia yang kini menyapa sudut mata; tidak ada lagi lamunan senja merah jingga yang ingin berpulang di kedua pelupuk netra; pun tidak ada lagi wangi tubuhnya yang tanggal dan memeluk erat pada raga.

Yang tersisa, tak ada lagi dia dalam kisi-kisi ceritanya.

Sudah tiga tahun ternyata Sorai lupa.

Bagaimana ya rasanya dulu waktu aku jatuh cinta?

Sepertinya sudah selama itu waktu berlalu meninggalkan Sorai dalam kabut kepalanya yang semakin terlukis semu. Kisah klasik masa mudanya kini bukan lagi bagian dari cerita indah yang dulu begitu amat seru dan menggebu.

Namun, apa kau tahu, Dewata?

Bangunan masyhur nan megah di jantung Nusa Dua ini—yang mengusung elemen klasik Eropa berpadu sentuhan estetika kontemporer Bali, sungguh terlihat begitu adiwarna sekali, lengkap dengan romansa krem berpulas putih tua yang kini menjadi inti dari sumbu dekorasi.

Melihat bagaimana keelokannya, kini justru membuat Sorai teringat kembali pada sosok dia.

Bagunan ini benar-benar mirip dengan orang yang dulu pernah ia cinta. Seperti terlukis nyata di sana, sepoles tawa dan semua mantra tentang bahagianya rasa. Semuanya tiba-tiba melintas lagi bagai mesin waktu, kenangan yang kini serasa memanggilnya dari lembar potongan masa lalu.

Sekilas Sorai lihat di sudut kolam renang sebelum menuju ke altar tempat inti meramu janji hidup semati. Ada satu pigura kaca berbingkai bunga tak kalah cantik dengan kalimat magis yang berhasil mencuri atensi.

Selamat mengarungi bahtera rumah tangga Selatan Kota Paramoedya dan….

Kalimatnya tiba-tiba berhenti. Entah lidah Sorai menjadi kelu atau memang sengaja enggan memberi tahu nama mempelai perempuannya ini. Yang pasti di sana, tulisan pada kaca itu lengkap dengan ajian manusia pada umumnya, semoga berbahagia.

Rasanya kenapa gadis berwajah oval dengan rahang yang lembut itu ingin tertawa, ya? Menertawakan kebodohan yang dulu pernah dia bayangkan sebelumnya. Bukan nama Sorai yang tertera, akan tetapi nama wanita lain yang tertulis indah di sana.

Bodoh sekali si perasa ini yang dulu meramal duga.

Gaun berona persik ya membalut raga, kini Sorai pandang tak ada guna. Secantik apa pun yang saat ini terlihat di mata, ternyata dia datang sebagai tamu di sana.

Kekehan bodoh itu mengudara dari bibirnya.

Kenapa juga, minggu lalu, gadis jelita kelahiran Kotagede itu dengan mudah mengiyakan undangan sang pemuda—untuk hadir jauh-jauh dari Jakarta ke Nusa Dua? Padahal, lusanya, Sorai tahu ia harus melintasi samudra terluas di dunia untuk menyambangi Manhattan, demi Columbia.

Kayaknya gara-gara setres ini jadi main iya-iya aja!

Bodoh memang!

Namun karena sudah terlanjur basah sampai di sini. Ah Dewata, setidaknya bolehkah gadis berdarah Jawa-Aussie ini untuk mengenangnya sekali lagi? Sekali saja sebelum sang senja mau berpulang hari ini. Sebelum gadis itu menyaksikan pernikahan dari laki-laki yang pernah begitu ia cintai.

Sorai ingin mengenangnya, mungkin juga untuk terakhir kalinya. Tentang gemuruh sukacita, dari ribuan frekuensi bernama jatuh cinta; dari hujan air mata dan perpisahan yang dulu juga menyertainya.

Lewat suara burung-burung yang melintas di bumantara, pun deburan ombak yang terdengar lembut di antara pantai dan sela-sela telinga, Sorai kira semesta menjawab baiknya dari apa yang ia minta.

Ia seolah tengah berbahasa: Silakan mengenang, tapi jangan lupa arah jalan pulang.

Tjawidjaya?”

Tjawidjaya—sebuah nama kelurga yang sering kali orang-orang melafalkannya Chawijaya, nama itu akhirnya kembali terucap lagi dari bibir seorang Selatan Kota.

Dia masih memanggilmu Tjawidjaya, Sorai.

Laki-laki itu masih sama, semesta, panggilan nama ketika ia sedang bersalah untuk Sorai… masih dia gaungkan di sana.

Senyuman gadis itu tiba-tiba mengembang dan mencuat. Panggilan lembut dari belakang tersebut membuat tubuhnya segera berpaling dengan cepat. Di sana sudah ada rupa tampan yang berbalut jas—lengkap dengan kenangan yang mengikat. Seandainya kalian sedang merasa senggang, maukah untuk mendengar cerita Sorai yang mungkin terlihat manis untuk diingat?

Cerita tentang seorang Selatan Kota Paramoedya, dan segala bentuk warna-warni kasih sayang yang dulu seindah cara semesta melukisan mahakarya.

Tangan Sorai terulur ke depan. “Selamat atas pernika—”

Sebelum bibir gadis itu mengucap sempurna, duga lagi-lagi menyambangi kisah mereka.

Karena seorang pelayan yang tak sengaja menyenggol bahu Sorai. Sepatu dengan hak tumit yang lebih tinggi dari bagian kaki, tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan atas diri. Tubuh gadis Tjawidjaya itu langsung terjun dengan bebas ke dalam air yang sedingin orang sedang patah hati.

“Sayang, you okay?”

“Sorai, kamu nggak papa?”

Gadis yang sudah basah kuyup di dalam kolam renang itu lantas termenung beberapa jeda. Bukan karena ia merasa kedinginan atau apa, tapi ia lihat sudah ada lengan dari dua pemuda yang terulur ke arahnya.

Iya, dua pemuda kini berada di bibir kolam renang.

“Gadis Sorai Tjawidjaya! Why the hell are you in the po—”

Nicha—teman akrabnya—yang menghampiri Sorai tiba-tiba menghentikan ucapannya. Bukan karena kaget dengan tingkah laku Sorai yang sudah kelewat aktif sejak masa SMA, tapi dia tertegun begitu melihat dua laki-laki yang sudah melipat lutut sambil mengulurkan tangan mereka.

“Anjir! Udah mau nikah, masih aja lo berdua rebutan!”

**

“Ayo jadi pacar gue aja!”

Mungkin kalimat retorik paling bodoh itu yang akan keluar dari bibir seorang Sorai ketika bersua dengan si bungsu Paramoedya—cowok idamannya. Akan tetapi… kalau gadis berpinggang ramping itu boleh bertanya, menurut kejujuran kalian semua, apakah pantas si tengah Tjawidjaya tersebut bersanding dengan seorang Selatan Kota Paramoedya?

“Pakai tanya lagi, get up and wash your face!”

Ah, kalimat kampret itu pasti akan langsung tersembur dari mulut usil seorang Nicha kalau dia bertanya.

Sialan memang cewek keturunan Negeri Gajah Putih itu.

Lagi pula, kini gadis berambut kepang tersebut cukup penasaran juga. Kriteria pacar seorang Selatan itu seperti apa? Apa seseorang yang pandai isi kepalanya? Yang punya hati berbudi baik pada semua ciptaan-Nya? Atau mungkin yang cantik jelita dengan pintar bertutur kata?

Kalau iya, pacarin aja Hermione Granger sana!

Dengan malas Sorai memutar bola mata. Kalau memang benar semua itu kriteria menjadi kekasih sang pemuda, sudah saatnya gadis dengan warna suara unik itu mengingat petuah luhur dari akang parkir yang ada di Jakarta.

“Yak, ayo mundur pelan-pelan, Neng.”

Mundur dari Hongkong!

Kalaupun memang standar pacar impian di mata Selatan agak berbeda, sedangkan gadis Tjawidjaya itu tak sepintar Chloé yang pernah juara dalam kompetisi bergensi se-Asia. Enggak sebaik Mei Ling yang selalu siap sedia menolong sesama. Bahkan Sorai tidak secantik Saira yang selalu meneduhkan hati kaum adam kalau sedang berkata.

Sorai, hanya sebatas Gadis Sorai Tjawidjaya.

Gadis berisik—ya walaupun agak bagus sedikit suaranya—yang kelebihan banyak tenaga. Tidak pandai-pandai amat di bidang akademik terutama ilmu eksakta. Ah, tapi dulu waktu SMA Sorai suka sejarah—maksudnya cukup pandai dalam mengukir sejarah teman-temannya menjadi kesal dan naik darah. Lalu yang terakhir ini, Sorai tidak tahu apa ini termasuk kelebihan diri, tapi kepalanya memiliki kapasitas otak yang terkadang isinya kelewat liar tak terkendali.

Benaran, itu semua tentang Sorai, si tengah Tjawidjaya.

Gadis penyuka merah muda itu tidak akan menutupi fakta, atau sekadar mengada-ada memiliki sifat yang mendamba. Tidak, ya, wahai manusia. Karena bagi Sorai, membohongi diri sendiri hanya akan melukai isi hati.

Obatnya mahal kalau ingin sembuh, mengerti!

Maka dari itu si tengah Tjawidjaya sudah cukup bahagia dengan miliknya sekarang. Si tengil Sorai dengan segala kerandoman hidup yang datang.

Termasuk, menyukai Selatan dengan cara agak gila.

Sorai tidak yakin sebenarnya. Sejak kapan nama cowok di sebelahnya ini mulai terbesit di antara ribuan keping nama yang tersebar dalam sel neuron di kepala. Padahal sewaktu di SMA dulu dia tidak senakal itu. Apa karena kini waktunya tidak sebanyak dulu? Namun yang jelas kini satu!

Selatan Kota Paramoedya.

Tiga kata yang menyusun satu mantra. Si bungsu dari Paramoedya, keluarga masyhur yang terkemuka di Jakarta. Kalian akan jatuh suka dengan sifat dinginnya bak tuan muda. Pemarah ulung yang setia. Tsundere yang kadang tak terlihat di pelupuk mata. Cerocosan omel yang membuat hati merindu dan mendamba. Bahkan sikap manis yang tiba-tiba membuat lupa bagaimana caranya menarik napas di udara.

Percayalah dengan penilaian Sorai—walau memang agak hiperbola yang cukup tinggi. Kan sudah dibilang saat di awal mula cerita, gadis itu menyukai pemuda di sampingnya ini dengan cara agak gila.

“Ngapain dari tadi mata lo jelalatan ke bibir gue?” ketus Selatan tiba-tiba, netra bak elang itu langsung menusuk di pusat iris mata. “Mau coba ngecup lo?”

“BOLEEEH???”

Telunjuk jari tengah itu lantas menekan dahi Sorai, hingga kepala gadis itu mundur ke balakng beberapa senti.

That’s cute! Keep dreaming,” putus Selatan.

Hehehehe, telek!

Memang sialan makhluk rupawan satu ini!

Benar, bukan? Baru juga Sorai deskripsikan. Bibir seksinya itu lho, kalau seharian saja tidak membuat Sorai kesal, ya licin banget seperti minta disosor semalaman.

Shibal!

Sekarang gadis itu jadi kepikiran malah, ingin mencoba setangkup bibir apel milik Selatan yang tebal dan berona merah. Kalau dilumat perlahan apa rasanya senikmat taman surga yang indah?

Ah, persetan!

Kan, kan! Kenapa pikiran Sorai selalu menjadi kotor kalau sedang didekat Selatan begini? Kenapa hawanya cuma ingin berbuat tercela dengan makhluk tampan satu ini?

Astaga, pelet merek apa, sih, yang Selatan pakai?!

Sepertinya memang betul, ya? Isi kepala Sorai sudah mulai terkontaminasi karena Nicha—dengan lakorn Thailandnya. Masa bisa-bisanya dia jadi semakin gila?

Mana gadis Tjawidjaya itu malah teringat sesuatu yang cukup menggelitik lagi. Bayangin aja, hanya dalam hitungan detik, sepotong tubuh pria berlapis otot dan keringat tersebut sukses mencuri semua berkas penting dalam atensi.

Sialnya lagi, Sorai sekarang malah sering bertualang ke dunia imajinasi—yang sungguh, seperti satwa liar gara-gara pemuda satu ini.

Tobat, Sorai! Tobat!

Malulah engkau dengan Singapura yang sudah begitu maju, tapi pikiranmu masih sesempit itu!

Gadis itu mendengkus.

Bukan hanya sekali, tapi lima kali.

Meskipun Sorai tidak bisa menampiknya. Bahkan pernah terjadi di suatu hari yang begitu terik surya. Kalian mungkin pernah dengar gosip dari kampus nomor satunya Singapura tentang seorang mahasiswi, ia dikeluarkan karena tertidur di kelas sustainable urban water technology.

Iya, gadis itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sorai.

Untung saja profesor yang mengampu tidak tahu, mimpi kotor apa yang sudah berenang di kepala gadis Tjawidjaya itu. Coba kalau beliau sampai mengetahui bahwa salah satu mahasiswinya, ia tengah bermimpi tidur seranjang dengan mahasiswa terbaiknya Industrial and Systems Engineering—alias Selatan—saat kelas mata kuliahnya.

Iya, tidur seranjang.

Sorai dan Selatan.

Berdua saling pelukan. Bertukar lumatan ciuman.

Iya tahu, tidak usah dengan nada ngegas juga! Sorai sadar kalau mimpinya terlalu cemar untuk dibayangkan isi kepala. Kan sudah dikasih penafian tadi. Imajinasi Sorai bisa melebihi satwa liar di bumi! Namun apa boleh buat, bukan? Sepertinya gejolak hormon masa mudanya memang kerap berlebihan.

Demit memang!

Seumur-umur baru kali ini Sorai bermimpi semesum itu di lingkungan kampus. Kalau tahu akan mendapat mimpi yang begitu bagus, mendingan dia bolos terus tidur di dormitori dan bangun sampai waktu lulus.

Kapan lagi dicium sayang sama Selatan lewat mimpi?

Setan! Jangan ditiru, ya!

Memang makin gila saja pikiran Sorai gara-gara laki-laki berwajah golden ratio itu lama-lama. Bukannya memahami proses pengolahan air dan air limbah serta pertimbangan rekayasa biar cepat paham di kepala. Lah ini? Bisa-bisanya malah membahas lagi mimpi bodoh itu padahal baru tahun kedua gadis penyuka seafood itu berkuliah di sini.

Mau jadi apa lo ini, Sorai?!

Akan tetapi sang gadis Tjawidjaya tidak semunafik itu juga. Sama seperti manusia yang bersembunyi di balik beragamnya topeng dari masing-masing kebohongan kita. Mimpinya itu, em, kadang membuat Sorai cukup bahagia meski hanya sebatas semu yang seakan menjadi nyata.

Ah, sudahlah!

Membicarakan manusia tampan ini lagi, bisa-bisanya Sorai jadi pasien kesayangan psychiatric hospital nanti. Namun apesnya, baru juga gadis Tjawidjaya itu berniat membuang pikiran asusila tersebut dari inti kepala. Selatan dengan santainya justru membuat dia semakin terperangah kehilangan daya.

What the hell are you doing, Selatan Kota?!”

Seringai bak serigala licik itu sudah muncul di sudut bibir sang pemuda. Sorai bisa jamin selepas ini akan keluar wajah brengseknya. Benar saja astaga, kini Selatan sudah berujar menggoda sambil menampilkan wajah panasnya.

“Let’s see how long you can last.”

Kampret! Ketahanan apa yang lo maksud?!

Ketahanan pangan, hah?!

Sorai jelas terkesiap, bahkan untuk menelan ludah saja kini bukan main susahnya. Bagaimana tidak coba? Aduh, benar jadi pasien Institute of Mental Health ini Sorai melihat tingkah polah sang pemuda kelahiran Matera—yang tiba-tiba ada saja gebrakannya. Masa iya Selatan justru melepas jersey lari yang membungkus tubuh kokohnya ini. Mana di area outdoor depan National Stadium—yang dekat dengan tangga dan danau—tinggal Sorai dan Selatan sore kali ini.

Coba kalau di kamar? Kan jadi lebih berdebar.

Oh shyt!

Yang bener aja otak lo, Sorai!

Semua setan-setan di sini mungkin sudah geleng kepala melihat tingkah si gadis Tjawidjaya. Nggak tahu apa, Sorai sudah kesulitan melakukan respirasi ketika Selatan semakin mendekatkan kepalanya ke muka dia?

Buru-buru si tengah Tjawidjaya palingkan air muka. Pasti merah padam sudah mewarnai seluruh wajahnya di sana.

Sialannya, Selatan semakin tertawa melihat gerak-gerik bodoh gadis itu kini. Terbaca sudah pasti semua pikiran kotor yang tersimpan di kepala Sorai.

Bibir pemuda itu semakin mendekat ke telinga Sorai. “Lo nggak lagi bayangin… gue mau nyium lo, kan?”

HAHAHAHAHA!

Shibal, shibal, shibal!

Nggak usah dibahas lagi ya sialan! Ini manusia memang demen banget godain anak perawan!

Sorai kira, si bungsu Paramoedya akan semakin tertawa karena tingkahnya yang makin terbaca, tetapi nyatanya, satu hal yang tak disangka. Dagu milik Sorai tiba-tiba diraih oleh tangan sang pemuda. Membuat dua pasang mata mereka yang beda corak warna saling bertatap cukup lama.

“Se—Selatan?”

“Hm?”

“L—lo mau nga—ngapain?”

“Mungkin ini lucu, it crosses my mind more than I’d admit, tapi setelah gue perhatiin. Lo manis juga.” Pandangan mata Selatan beralih ke ranum milik sang gadis—yang kini sudah ia rapatkan. Sedangkan lengan kokohnya jusrtu mengurung tubuh Sorai di bangku batuan. “Jadi pengen gue makan.”

“Hah?!”

“Lo mau, tidur di apart gue?”

“Hah?!”

Kedua mata Sorai langsung melotot dengan sempurna. Maksudnya, gimana-gimana?! Dia mengedipkan mata untuk kelima kali. Mimpi mesum mana lagi ini yang sedang dialami?

“The bed’s kinda cold without you.”

“Oh, shit!”

Ingin rasanya bibir ini mengucap doa pengampunan, tapi sialan! Alam bawah sadar gadis itu berkata sebaliknya. Telinga itu mulai tercemar suara kotor juga. Namun, tanpa diduga, setangkup bibir yang selalu didamba itu langsung menyapu bersih ranum merah muda milik Sorai seketika.

Demi puja kerang ajaib!

Untuk kali kedua, Sorai membulatkan mata begitu Selatan mengecup dan melumat bibirnya. Dan kalian tahu? Itu bukan hanya sekilas yang lalu, tapi begitu lama hingga rasanya membunuh waktu. Bahkan pemuda ini begitu lihai menggigit kecil bibir bawah gadis itu.

Oh goddammit!

Kalau sudah terlanjur begini mau menolak bagaimana? Bahkan tangan kekar si pemuda yang melingkar di pinggang Sorai, sudah semakin erat menyatukan mereka.

Sial, orang ini tahu titik nikmat gue dari mana?!

Akhirnya Sorai balas kecupan panas sang pemuda. Suara dari kecapan kenikmatan surga itu benar-benar mengalun di telinga. Kini dilingkarkan pula lengan yang menggantung di leher bungsu Paramoedya. Seperti tengah bercinta di luar angkasa tanpa ada yang mengganggu mereka. Masa bodoh sekarang berada di mana. Karena seperti saat Sorai berkata, cinta bisa membuat logika berjalan seperti orang gila.

Sepertinya ucapan Nicha benar kali ini. Pemuda dengan sepasang indahnya cokelat kenari, menjelma menjadi kesejukan yang mungkin semesta berikan pada Sorai kala kemarau hati menghampiri. Memberi banyak sekali hangat yang semula berwajah sunyi.

Kecupan itu akhirnya mulai memudar perlahan. Meski dahi mereka masih bertaut dengan sorot mata menginginkan.

“Selatan?”

“Hm?”

“Can I have another peck, please?” desah Sorai, meminta kenikamatan itu sekali lagi. “I’m running low on kisses—”

“What the actuall fuck! Ini perpus lagi pada sibuk belajar buat ujian, lo ngapain malah nulis porno anjir?!” sembur Nicha, tangannya sudah berhasil merebut iPad Sorai di meja.

Demit memang Esmeralda dari Thailand ini!

Ternyata tidak sayang nyawa anak Kemang satu ini. Lagi enak-enaknya bertukar saliva dengan pujaan hati, kenapa menganggu ketenangan sanubari? Sekali-kali berbahagia di dunia fiksi kenapa harus iri?

“Sini balikin iPad gue!”

“No way!”

Sorai semakin tak kalah mengotot. “Balikin iPad gue anjir!”

“Sorai Tjawidjaya? You again?!”

Sore yang teduh kala itu, di antara kerumunan mahasiswa yang sibuk belajar menghadapi ujian besok hari Rabu, nama Sorai dipanggil lagi oleh salah satu yang berada di dalam perpustakaan hari itu—yang tidak lain adalah sang profesor berketurunan Melayu, dosen yang pernah mengusirnya dulu.

“Hehehe, sorry, Prof.”

“What seems to be the issue this time?”

Gadis Tjawidjaya itu langsung terdiam, sampai akhirnya matanya menoleh pada pemuda berjaket yang baru saja masuk ruangan dengan membawa iPad di tangan kanan.

Melihat gelagat dari pandangan Sorai, seolah profesor itu pandai dalam membaca isi kepala sang mahasiswi. Akhirnya seucap kalimat pendek yang baru saja beliau lontarkan ini, tiba-tiba membuat Sorai menjadi pusat semua atensi.

Oh, congratulations, Selatan! You’ve officially become the latest headline in Tjawidjaya’s drama.

Gadis itu langsung tersenyum dan berbisik, “Setan!”

 

**

Bagi teman-teman yang sekiranya ingin membaca kelanjutan dari cerita Sorai, Selatan, Kavi, Nicha, dan Timur secara utuh, bisa menekan gambar BUY NOW atau klik pranala E-BOOK di bawah ini.

Pranala: ✦ Beraksara 04: Berpayung Tuan Tamalan

Terima kasih sudah turut andil dalam menjaga keberlangsungan rumah kecil navanera di masa depan supaya terus terjaga.

error: Content is protected !!