Manusia Bumi Bhayangkara

“Jika saja Istiqlal dan Katedral diberi nyawa. Siapa yang bisa menjamim jika mereka tak jatuh cinta?”

Ada sebuah getaran aneh yang tiba-tiba datang di dalam sukma.

Dari bibir jalanan pingir kota, gadis Anucara itu melukis sabit ironis selepas melihat video TikTok di lini masa. Sepertinya Rona bersua dengan hari buruk lagi malam ini, atau barangkali, sebenarnya tidak ada hari buruk di bumi, hanya perasaan jelek yang sering kali menghampiri.

“Sudah tahu berbeda, sudah tahu akhirnya nanti gimana, kenapa masih saja bertahan untuk tetap bersama?” gerutu Rona, selepes menyelesaikan video TikToknya. “Oh ya, itukan kisah gue dulu, lupa.”

Sebuah kendaraan SUV hitam yang berkantor pusat di München, Jerman tiba-tiba berhenti di tepi jalan raya. “Rona?”

“Kak Naksa?” balas Rona, seraya melepas AirPods dari telinga.

“Ayo masuk, gue anterin?”

“Yah, gue udah terlanjur pesen Gojek, Kak,” jawab yang punya nama. Senyum murung sudah tertampil di wajah Rona. “Kak Naksa duluan aja nggak papa. Bentar lagi datang kok Bapak Gojeknya.”

“Beneran nih lo nggak mau nebeng?”

“Lain kali aja, ya?”

“Ya udah, kalau gitu gue duluan, ya? Lo hati-hati di jalan.” Dari dalam kendaraan—salah satu teman gereja Rona, lebih tepatnya juga kakak kelas dia dulu waktu di SMA Navagraha—sudah melambaikan satu tangan dan berlalu pergi meninggalkan.

Kini yang bisa Rona lakukan hanya menolehkan pandangan ke sekitarnya. Sekilas kalau diamati dengan seksama, ternyata tidak buruk juga mencoba datang ke Ibadah Pemuda. Padahal biasanya gadis Anucara itu selalu ikut mama ibadah di waktu pagi, tapi karena Minggu ini mamanya baru pergi, jadilah gadis itu berangkat gereja di malam hari.

Dan ya, seperti namanya… Ibadah Pemuda, banyak sekali anak-anak muda yang datang untuk berdoa.

Dari sisi lajur didekatnya, tiba-tiba sebuah benda abu-abu beroda empat mengkilap lagi-lagi berhenti di depan Rona. Dibuat bertanyalah kepala gadis Anucara, sepertinya Rona tidak asing pada mobil berlogo perisai dengan lambang kuda dan nama Kota Stuttgart ini di depan dia.

Masa, sih, ini mobilnya Ga—

“Ngapain bengong? Ayo, masuk! Gue anter lo pulang,” ucap sang pemuda, begitu kaca mobil itu ia turunkan seketika.

“Gava? Lo ngapain ada di sini?”

“Sama kayak lo tadi.”

“Hah?” Gadis dengan midi dress hitam di bawah lutut dengan paduan sepatu Converse putih lusuh itu pun langsung menoleh ke belakang di mana tempat ia beribadah tadi, baru selepasnya ia kembali melihat ke arah Gava lagi. “Lo habis ibadah juga? Sejak kapan lo rajin gereja? Kok gue nggak sempat lihat lo tadi?”

“Lo aja kali sibuk ngelihatin yang lain.”

“Ih, sok tahu!”

Gava pulas sedikit senyuman di wajahnya. “Mau pulang, kan? Ayo gue anterin sekalian.”

“Nggak usah, gue udah terlanjur juga pesen—” Tiba-tiba kesatria hijau yang Rona harapkan datang, tepat berhenti di depan mobil Gava.

“Kak Rona, ya?” tanya sang bapak berhelm hijau.

“Iya, Pak, saya—”

Belum sempat gadis itu lengkap menjawab pertanyaan bapaknya, Gava sudah lebih dulu menyela percakapan mereka. Bahkan Rona saja juga bingung sejak kapan manusia jangkung dengan topi hitam di kepala itu keluar dari dalam mobilnya.

“Tugas ngantarnya biar saya aja yang kerjakan, Pak,” potong Gava, pemuda Altares itu justru sudah mengeluarkan dua lembar mata uang berona merah dari dompetnya. “Ini gantinya buat, Bapak.”

“Alhamdulillah, rezeki anak soleh ini namanya,” lontar sang Bapak, lengkap mencium uang pemberian dari Gava. Sedangkan di depannya, pemuda Altares itu justru melukis tipis sabitnya. “Makasih banyak, lho, Kak. Lain kali, sering-sering telat aja jemput pacarnya gini. Kan lumayan ongkosnya buat ojol kayak Bapak ini.”

“Siap laksanakan, Bapak.”

“Mari… Bapak duluan ya, Kak.”

Akhirnya percakapan singkat dua manusia itu selesai di bawah temaram lampu jingga kota. Namun, begitu pemuda Altares tersebut memalingkan kepala ke arah Rona, sudah dihadiahi wajah penuh tanya dan cibiran khas ibu-ibu tetangga.

“Emang lo dulu ikut Bayu Bajra?” sindir Rona, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Udah makin jago aja ya lo main sinetronnya.”

“Terima kasih untuk pujiannya,” balas Gava, seraya pintu mobil sebelah kiri itu ia buka. “Udah ayo pulang.”

Sambil memasrahkan keadaan, gadis Anucara itu pun masuk ke dalam kendaraan. Tak perlu banyak waktu sampai benda roda empat bertuliskan Macan itu membelah lautan jalanan. Namun entah ini cuma firasat dari perasaan, gadis delapan belas tahun yang baru lulus SMA itu merasa jalan ibu kota malam ini terasa cukup lengang.

“Papa gimana?” tanya Gava, inisiatif memecah heningnya suasana.

Satu tarikan napas panjang Rona berikan. “Papa baik. Ya, seperti kemarin… dan kemarinnya,” jawab Rona, sekilas menoleh ke pemuda di sebelah dia. “Papa jadi dinas di Korem Wira Satya di Bali.”

“Kalau Mama… jadi mau pindah ke sana juga?”

“Mama pengen nyusul sebenarnya, tapi kan belum bisa karena Mama juga masih ada ikatan dinas di Jakarta. Lagi pula setengah hati Mama itu pengen pergi, setengah hati lagi kasihan sama gue kalau nanti kuliah di Jakarta sendiri.”

Pemuda itu sedikit menggigit bibir bawahnya. “Em… lo udah yakin, jadi mau ambil prodi itu daripada pergi ke luar?”

“Sebenernya gue tuh masih bingung, Gav.” Kepala gadis itu lantas menunduk ke bawah. “Seandainya aja kaki gue nggak bermasalah. Mungkin sekarang gue nggak akan menyerah.”

“Jadi lo udah nyerah nih?”

Maybe?”

“Rona yang gue kenal tiga tahun lalu… kayaknya nggak gini,” ledek Gava sambil memutar kemudi belok ke arah kiri mereka.

“Apa, sih, jadi bahas tiga tahun lalu segala.”

“Kenapa, jadi keinget manisnya, ya?”

“Yang ada bukannya pahit, ya?”

Pemuda Altares itu menolehkan wajah sebentar. “Maaf.”

Seperti hujan yang tiba-tiba menghilang dari mendungnya wajah angkasa. Kepala Rona langsung menoleh ke arah sang pemuda. Sebentar, sejak kapan pemuda yang dinginnya seperti gunung antartika ini meminta maaf dengan mudahnya?

Jangan-jangan gadis itu salah dengar tadi.

“Gava?”

“Apa?”

“Lo lagi sakit?”

“Enggak.”

“Kok jadi ngigo gini?”

Tak ada jawaban lagi dari sang pemuda, justru tolehan kepala lengkap dengan sabit tipis yang kini jadi jawaban di wajah Gava. Rona yang melihat semakin merasa janggal di benaknya. Dengan refleks telapak tangan gadis itu sudah dijulurkan di kening sang pemuda.

“Ah, pantes aja panas!” ejek Rona, balik.

Kalau saja gadis Anucara itu menyentuh kening Gava sekali lagi. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Karena tak tahu saja, apa yang dilakukan Rona barusan mampu membuat pemuda Altares tersebut seketika kehilangan akal sehatnya.

Untung saja mereka tengah berhenti di lampu merah, tapi sialnya yang dilakukan Rona berhasil membuat hatinya gundah. Ada sesuatu yang awalnya masih diselimuti ragu, kini tiba-tiba seketika berubah menjadi yakin yang satu.

Gava pandang begitu lekat kedua manik mata milik gadis di sebelahnya. “Rona—”

“Eh, udah lampu hijau, Gav,” potong Rona.

“Oh?” Mau tidak mau Gava urungkan niatnya dan mulai melanjutkan lagi perjalanan mereka.

Tak terasa, tiga puluh menit kendaraan beroda empat itu membelah lautan jalan ibu kota, tiba-tiba sudah sampai saja didekat kediaman gadis Anucara. Kadang memang seperti itu, bukan? Perjalanan akan terasa begitu singkat ketika bersama dengan seseorang.

“Makasih banyak atas tumpangannya ya, Tuan Muda Altares,” godanya, seperti biasa ketika ia berbicara dengan Gava.

Gadis itu lantas keluar dari mobil Gava. Akan tetapi ketika langkah itu hendak ingin memasuki pagar rumahnya. Tiba-tiba nama lengkapnya dipanggil satu kali sama Gava. Yang pertama Rona masih terdiam di tempatnya, hingga dipanggilan kedua gadis itu baru menolehkan raga.

“Gabriela Wiling Rona Anucara.”

Nama lengkap itu benar-benar terucap kembali setelah sekian lama tak terdengar dari bibir seorang Gava. Gadis itu masih terpekur dipijakannya, menunggu pemuda di depan dia untuk melanjutkan kalimatnya.

Sambil menyakukan kedua tangan di celana, Gava yang berdiri di samping mobil itu lantas bersuara. “Seneng rasanya… dulu Tuhan pernah menghadirkan lo di hidup gue walau singkat. Makasih, ya?”

Mungkin ini bukan waktunya. Namun seperti kilat yang menyambar tiba-tiba di angkasa. Malam itu ada suara angin yang berdesir lembut di antara tatapan mereka, di antara sebuah cerita di masa lama, sampai akhirnya pemuda Altares itu melukis satu kurva lalu membalikkan raga.

Satu langkah pemuda itu baru saja menapak di Bumi Batavia. Namun tubuhnya sudah membeku di sana. Dengan kepalan tangan yang mengerat di udara, akhirnya Gava balikan badan ke arah Rona.

“Rona, lo mau ikut ke Semarang?”

“Hah?”

Pemuda Altares itu lantas melepas topi di kepala. Sudah terlihat potongan rambut 3-2-1 di bawah sorot lampu jingga. Rona yang memandang langsung membekap bibir dengan kedua tangannya. “Lo terpilih ikut seleksi ke tingkat pusat?” Gava hanya mengulas senyuman kecil di wajahnya. Rona yang tak sadar langsung berlari dan memeluk tubuh pemuda di depan dia. “Selamat berjuang lebih keras, Tuan Muda! Gue ikut bahagia dengernya!”

“Segitu senengnya, ya, sampai erat banget pelukan lo?”

“Sori-sori, refleks ikut seneng gue soalnya.” Gadis itu melepas pelukan singkatnya. Ia memundurkan beberapa langkah menjauh dari tubuh Gava. “Kakek lo pasti seneng dengernya.”

Gava diam beberapa jeda, hingga akhirnya ia kembali bersuara. “Masalahnya di situ.”

“Maksudnya?”

“Lo mau ikut ke Semarang nemenin Kakek?” pinta Gava, sekali lagi. “Gue takut, takut kalau nanti ternyata hasilnya di luar duga, takut kalau ternyata gue malah gagal waktu seleksi panpus di sana, takut kalau ternyata gue cuma bisa nambahin beban rasa kecewa. Gue nggak tega ngelihat gimana sedihnya Kakek nanti di sana, Rona. Gue nggak bisa.”

Gadis itu terdiam untuk sesaat, matanya sedang mencari di mana letak kekhawatiran Gava yang mencuat. Hingga akhirnya lengan pemuda tersebut perlahan Rona usap.

“Kan belum dicoba, belum tahu hasilnya juga nanti gimana. Kok udah negative thinking dulu sebelumnya? Gava yang gue kenal nggak sepesimis ini deh kayaknya. Ke mana itu semangat juang yang katanya pengen jadi anak negara? Nggak boleh berprasangka buruk sama Tuhan, ya. Nggak baik buat kita.”

“Tapi, Rona?”

“Kalau lo aja masih ragu sama mimpi lo sendiri. Gimana Tuhan mau percaya kalau lo bener-bener menginginkannya?”

Kini ada satu alasan pasti kenapa jantung sukma itu bersenyawa kembali. Padahal kisah mereka sudah lama berhenti di halaman yang memilih saling pergi. Mungkin hanya pada gadis ini, tempat Gava memulangkan segala muara hati.

“Rona lo tahu, sebenarnya bukan hanya karena Kakek saja, alasan kenapa gue akhirnya memberanikan diri meminta lo ada di sana.”

“Lalu kenapa?”

“Setidaknya, kalau pun nanti hasilnya gagal juga, dan di saat itu gue masih bisa ngelihat lo berdiri di sana… gue jadi punya satu alasan buat bertahan dari hantaman segala rasa kekecewaan; satu kekuatan buat gue harus selalu berprasangka baik sama ketetapan Tuhan. Apa gue terlalu serakah, ya, sampai berani miminta ini?”

“Gava….”

Usapan gadis itu akhirnya mulai jatuh. Namun dengan cepat dua telapak tangan Gava meraihnya agar tak semakin menjauh.

“Gue tahu, lo benci kesempatan kedua. Gue pun nggak punya kuasa… untuk maksa hati seseorang buat kembali terbuka pada manusia yang pernah menyakitinya, di kisah masa lalu dia.” Pemuda itu akhirnya baru melepas genggaman dia pada Rona. “Jadi kalau pun lo nggak bisa, itu pun nggak papa. Gue mutusin buat berani bicara ini, karena gue nggak pengen punya rasa penyesalan di kemudian hari.”

Sebuah kurva tipis kembali terbuka dari sudut bibir Rona. Dari mantra-mantra langit Jakarta Raya yang menembus cakrawala di inti netra mereka. Kini Gava merasa lebih legawa. Pundaknya tak seberat sebelumnya.

“Selamat berjuang, Gava.”

**

“Polda Metro Jaya. Get kuota berjumlah delapan, ranking pertama sampai delapan… dinyatakan Lulus Terpilih. Yang pertama, Nalendra Fernandito Galva Altares, Lulus dan Terpilih. Selamat datang di Bumi Bhayangkara Akademi Kepolisian.”

Setiap hati yang percaya pada baiknya prasangka. Yang Maha Kuasa selalu memberi setiap jengkal jalan baik untuk umatnya. Mungkin ketika malam selepas ibadah itu Gava tak menemui Rona. Mungkin hari ini ia tak akan mencium Bumi Bhayangkara dengan segala rasa puja syukur yang mengelora dalam sukma.

Tuhan itu baik, Tuhan… itu… baik.

Selepas berakhirnya pengumuman sidang panpus di Gedung Cendekia. Gava peluk begitu erat laki-laki yang wajahnya kini telah direnggut oleh usia. Ia dekap segela harap anak doa pada manusia yang telah membesarkannya sesabar luas samudra. Hingga tangis itu benar-benar pecah seketika di antara mendungnya langit Semarang Kota, dan sebuah kisah dari cucu pertama pada kakeknya.

“Selamat menempuh pendidikan ya, Mas Gava.” Kepala belakang itu kakek usap berulang kali. “Maafin Kakek, kalau selama ini Kakek ndak bisa ngasih Gava orang tua yang selalu ada di sisi Gava.”

Gelengan kepala itu sudah berulang kali Gava lakukan. Dekapannya pun kini semakin mengerat bahkan. “Kakek nggak salah. Gava yang harusnya minta maaf karena sering membuat kecewa. Terima kasih. Terima kasih sudah bersedia membesarkan Gava sampai hari ini. Semoga Kakek selalu dipanjangkan sehat usia dan murah segala rezeki.”

Kata seseorang, bila ada anak yang tangisnya jarang sekali terlihat. Sesungguhnya ia memendam segala rasa sedih yang cukup hebat. Yang sekuat tenaga ingin ia sembunyikan dari wajah sang jagat. Namun akan luruh ketika momen puitis itu datang menyentuh inti jantung hatinya yang begitu dekat.

Di tempatnya berdiri agak jauh dari mereka, gadis Anucara dengan kemeja putih lengan pendek dan bawahan rok hitam selutut itu bisa melihat dengan tulusnya kedua mata, bagaimana kini Bumi Bhayangkara begitu hangat memeluk doa dan mimpi seorang Gava.

Di masa depan yang entah kapan itu datangnya, Rona panjatkan segala doa, semoga… semoga kelak pemuda itu menjadi seorang perwira yang tak hanya bijaksana, tetapi juga menjadi kesatria yang rela berkorban dalam melaksanakan dharma bhaktinya kepada nusa, bangsa dan negara.

“Selamat menunaikan perjuangan, Anak Negara,” bisik Rona, mata itu sudah diselimuti dengan embun bahagia.

Kehadiran Rona di Kota Lumpia sepertinya kini tak ada gunannya. Percuma gadis itu dari kemarin mengkhawatirkan Gava. Padahal Rona percaya, pemuda Altares itu pasti mampu melewati masa sulitnya.

Gava masih percaya pada mimpi besarnya, hingga Tuhan mampu mempercayakan mimpi itu di pundak Gava.

Rona palingkan raga seraya menyeka air mata. Haru itu ternyata benar-benar sempat menyentuh inti sukma. Akan tetapi sebuah suara tiba-tiba datang dari arah belakangnya; suara yang mampu menghentikan segala niat dari langkah Rona.

“Gabriela Wiling Rona Anucara!” teriak Gava, mengulanginya.

Sekuat embusan sang bayu, pemuda dengan kemeja batik cokelat Gunung Wayang tersebut berlari menembus waktu hingga berhenti di depan gadis berkuncir kuda itu. Dua tatapan mereka akhirnya bersua dalam satu temu. Gava masih tak menyangka bila gadis di depannya ini benar-benar datang dari ibu kota sampai ke Candi Baru, padahal Rona sudah bilang tidak bisa datang kala itu.

Apakah ini nyata, ataukah ilusinya saja?

Satu telapak tangan, Rona ulurkan ke depan. “Selamat jadi Calon Bhayangkara Tarun—”

Perkataan tersebut lantas terhenti begitu gadis Anucara itu berada dalam dekapan Gava. Dari detik pertama hingga menuju kesekiannya. Tidak ada suara dalam percakapan di antara kedua manusia. Hanya deru peluk syukur dan degupan jantung yang semakin terasa. Semakin jatuh pelukannya pula, tangan gadis itu mengusap pelan punggung belakang Gava. Hingga pada satu jeda, sebuah tanya keluar dari bibir sang pemuda.

“Rona, gue boleh bawa nama lo?”

Pelukan yang tadinya mengerat, perlahan mulai meregang tanpa ada isyarat. Dari tatapan Rona, ada sebuah jawaban yang tertulis di matanya.

 “Gava, kita berdua tahu perihal jarak adalah hal tersulit dari sebuah hubungan bagi manusia. Menjaga tidak akan semudah ketika kita berhasil mendapatkannya. Dan lo masih mau mencoba?”

“Emang, kita mau mencoba apa?”

“Tahu ah, mending pulang aja gue.”

“Tunggu dulu! Kan gue belum selesai ngomongnya,” kekeh Gava, seraya menahan pergelangan tangan Rona. Ia tatap lekat gadis di depannya. “Lo pernah dengar nggak, kalau ujung dari jari kelingking itu ada sebuah benang merah tak kasatmata, yang ternyata menghubungkan separuh hati manusia pada pasangannya?”

Rona yang mendengar ucapan Gava langsung menahan tawa. “Kalau lo dingin itu gue udah nggak heran, ya, tapi bisa-bisanya jadi puitis gini lo mau jadi siapa?”

“Rangga?”

“Terus Cinta-nya?”

“Depan gue ini boleh juga.”

Satu tepukan tangan dari Rona langsung mendarat pada lengan Gava. Membuat sang pemuda justru melukiskan lagi satu sabit kurva bahagia. Hingga tak terasa dari deru canda mereka mulai berubah menjadi tatapan yang menembus inti jantung sukma.

“Rona. Gue memang masih banyak kurangnya. Masih jadi Gava yang kemarin sering ragu sama mimpinya. Makanya gue nggak berani meminta lo untuk mencoba mengulang kisah lama kita.

Tetapi gue cuma mau bilang ini. Waktu mungkin adalah guru terbaik dalam mencari atau pun melepas pergi. Maka dari itu mulai hari ini, mungkin sampai empat tahun nanti. Waktu akan jadi sahabat baik gue di sini. Selama pendidikan nanti gue berusaha nggak akan mengganggu lo lagi, nggak akan membuat hati lo goyah berulang lagi. Di tempat ini gue akan berusaha memperbaiki diri; memantaskan diri. Kalau memang suatu saat kita dipertemukan oleh Tuhan kembali, setidaknya… sedikit saja gue bisa lebih percaya diri untuk berdiri di sisi lo lagi.

Jadi jika selama perjalanan panjang itu ternyata nama lo masih saja tinggal di sana, sudut hati gue yang rumahnya tak sempurna, dan hati lo masih belum menemukan pasangannya juga.

Rona, lo mau… datang ke Prasetya Perwira?”

Sebelum gadis Anucara itu menjawab permintaan Gava. Suara sirene panggilan bagi Calon Bhayangkara Taruna sudah terdengar di telinga. Dengan berat langkah Gava mulai menjauh dan berlari ke arah Lapangan Bhayangkara. Namun sebelum raga itu benar-benar menghilang dari pandangan mata. Pemuda itu menolehkan kembali raganya pada Rona.

“Rona. Akan gue bawa nama lo… di setiap gue berproses di Bumi Bhayangkara.”

**

“Bahwa saya akan memenuhi kewajiban perwira dengan sebaik-baiknya terhadap bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”

Hari baik itu akhirnya tiba dipengujung cerita. Penantian panjang yang begitu banyak pengorbanan jiwa dan raga seharusnya berakhir bahagia. Namun ternyata tak semua seperti yang direncana dalam isi kepala Gava.

Sudah satu hari selepas mengucap sumpah pelantikan saat Prasetya Perwira di Istana Merdeka. Namun sampai detik ini juga, sampai saat ia kembali menuju Bumi Bhayangkara, sampai tiba di mana Gerbang Utama Tanggon Kosala melepas tradisi kepergian perwira remaja, tak terlihat satu kali pun gadis Anucara hadir di depannya.

Ke manakah harapan empat tahun lalu itu pergi? Apa semesta kembali merenggut satu mimpinya lagi?

Sore itu yang menjelang petang, Gava lagi-lagi hanya mengembuskan napas panjangnya yang berulang.

Rilov yang berada di pleton barisan banjar di belakang langsung ke depan untuk mendekat, tak lupa satu tangan sudah memberi hormat. Gava yang melihat sahabatnya lantas membalas pula dengan hormat sebentar dan sedikit mengulas senyuman hangat.

Ternyata sudah cukup lama persahabatan mereka. Mulai dari masa-masa remaja waktu di SMA Navagraha, hingga suka duka dalam satu batalyon di Bumi Bhayangkara, dan kini berakhir pula mereka pada satu penempatan pertama yang sama.

Takdir sepertinya hanya berputar untuk mereka.

“Emang jodoh lo itu gue, Gav,” cibir Rilov, melepas pelukan mereka.

Gava yang mendengar ucapan Rilov langsung menepuk satu lengan pemuda di depannya begitu keras. Yang tentu saja membuat pemuda Askara Cakra itu langsung berteriak, tapi tidak boleh mengumpat.

“Gimana, sampai hari ini belum kelihatan juga?” tanya Rilov, seraya mengamati sekeliling mereka. Gava yang mendengar hanya membalas senyuman biasa. “Udah coba lo hubungin?”

“Nggak ada balasan.”

“Dahlah, mending lo dengerin gue. Lupain dia dan cari aja yang baru. Emang nggak ada yang bisa menebak isi hati manusia sama rahasia waktu. Kalau pun nanti hati lo memang rumahnya, mau sejauh apa pun jarak di depan kalian berdua, toh dia bakal pulang sendiri juga kepelukan dari rumahnya. Oke, Ndan?”

“Empat tahun di sini, makin Boy Candra aja ya lo?”

“Jadi penulis kayaknya seru kali, ya?”

Mungkin yang dikatakan Rilov kadang ada benarnya. Lagi pula sejak awal dari kisah mereka, sepertinya memang tidak ada lembar untuk kesempatan kedua. Mungkin sekarang Rona sudah menemukan seseorang yang hidup begitu lama di hatinya.

Mungkin juga… mulai hari ini, Gava harus belajar untuk menerima dan kembali menata hatinya.

Di depan Gerbang Utama Tanggon Kosala, Gava keluarkan satu cincin yang seharusnya ia berikan pada Rona ketika Prasetya Perwira, tetapi ternyata tidak seperti yang diharapkan dari rencana. Maha Rasa selalu berhasil membolak-balikan segala isi hati manusia.

Dari Bumi Bayangkara, aku melepaskanmu kembali pada semesta.

**

“Lo tahu Mas Naksa, kan? Dia pacar barunya Rona.”

Satu kalimat itu masih saja tertinggal di kepala Gava, padahal sudah tiga bulan lalu Rilov mengatakannya. Namun sekarang, pandangan pemuda Altares masih saja tak lepas dari layar ponselnya. Di salah satu media sosial dia, Gava bisa melihat sendiri gadis yang satu tahun lalu harusnya datang ke Prasetya Perwiranya, kini sedang memeluk seorang laki-laki dengan senyuman bahagia.

Ternyata seperti ini pahit dan manisnya rasa dunia. Namanya memang masih tertinggal di sudut hati Gava, tetapi tidak dengan nama dia di sudut hati Rona. Sudah lebih dari satu tahun pula pemuda Altares itu mencoba untuk menerima, tapi sepertinya sulit untuk dilakukan juga.

Perkara rasa memang terkadang sepelik bagaimana kemarau yang menanti hujannya.

Rona, sebahagia itu ya sekarang?

Sebelum Gava berhasil memasukan ponsel ke dalam saku celana, tiba-tiba benda itu kembali bersuara. Sudah ada satu nama tertera di sana. Senyuman jahil pun langsung tercurah di wajah sang pemuda.

“Siap, dari Bumi Semarang ada yang bisa saya bantu, Letnan Dua Penerbang Bayu Suta?” ledek Gava, seperti biasa.

“Telek emang kalau gue nelpon lo itu!”

Dua perwira pertama disambungan telpon itu pun saling melempar canda dan gelombang tawa. Bisa-bisanya persahabatan dua matra ini masih awet begitu lama semenjak SMA. Ini kalau ditambah sama Naka, si manusia Lembah Tidar juga, mungkin sudah rusuh saja perbincangan tiga mantan punggawanya Brajadenta dari SMA Navagraha.

“Tumben lo telpon. Kenapa?”

“Bulan depan jadikan datang ke Balai Sudirman?”

“Tiket Semarang-Jakarta mahal.”

“Gue jemput pakai Fighting Falcon.”

“Kampret.”

Yang disambungan telpon langsung tertawa. “Lo tahu? Arae yang jauh-jauh dari Delft aja dateng, lo yang cuma dari Semarang… apaan nyekip. Nggak malu, Bapak Ipda?”

“Setan! Gue cuma males aja dateng sendirian.”

“Ya bawa gandengan, Bapak! Apa gunanya itu tampang?”

“Ya udah gue bawa Oza.”

Mau misil AIM-7 Sparrow atau AGM-65 Maverick, Bapak?”

“Ini mantan Karbol emang beda kalau ngancem orang.”

“Itu tandanya gue maksa lo harus dateng. Entar gue kenalin dah sama anak AU yang fotonya gue tunjukin ke elo waktu itu.”

“Siap, laksanakan!”

“Telek!”

Gava langsung mengeluarkan gelombang tawa tanpa henti. Bisa-bisanya dia menanggapi iming-iming Abee. Padahal biasanya ia akan memilih menghindar pergi jika digoda perihal topik ini.

Namun kalau diingat jauh-jauh hari. Gava baru sadar ini, satu bulan lalu ketika anak-anak Trinken menyempatkan reuni setelah hampir lima tahun mereka semua tak bisa kumpul lagi. Tahu-tahu, yang pertama menyebar undangan bahagia, tidak lain tidak bukan adalah Punggawanya Brajadenta sewaktu SMA.

Memang, perihal hati dan rencana semesta tidak ada yang bisa menebak ke mana hilirnya bermuara. Di buka pertama bisa saja kisahnya berpisah, tahunya ketika di buku kedua berakhir indah.

Iya, serahasia itu ketetapan alam raya.

Gava matikan panggilan telponnya. Sabit yang tadi sempat terlukis di sudut air muka, tiba-tiba lenyap begitu melihat pesan terbaru dari pemuda Bayu Suta.

Abee: Rona juga dateng besok.

**

“Upacara tradisi pernikahan militer Perwira TNI Angkatan Udara, telah selesai. Pasukan Jajar Kehormatan meninggalkan tempat upacara.”

Di antara ratusan riuh tepuk tangan di Balai Sudirman. Gava masih tak percaya teman satu Brajadentanya dulu kini telah melepas masa lajang.

Pemuda Altares dengan seragam PDU-III cokelat tua, lengkap dengan penutup kepala dan tanda pangkat berupa satu balok berwarna emas itu sudah ikut menepukan kedua tangannya.

Untung saja malam ini mereka berempat masih sempat menghadiri pernikahan sahabatnya. Karena diluar dari rencana sebelumnya, selain hari ini ke Jakarta datang ke pernikahan pemuda Bayu Suta, dari Semarang Gava dan Rilov begitu pula Zahra yang ditempatkan di Bali dan Audi di Yogyakarta, singgah terlebih dahulu untuk menghadiri upacara pemakanan dari salah satu ibu pengasuh mereka dulu waktu mengeyam pendidikan di Bumi Bhayangkara.

Hidup memang seperti itu bukan adanya? Pahit-manis, duka-bahagia, tangis-tawa selalu berjarak sedekat tatapan mata bagi manusia.

“Eh, itu bukannya Rona? Kok sendirian,” Rilov, pemuda yang berseragam serupa dengan Gava langsung menyela, begitu ia melihat gadis dengan rambut diurai dan gaun yang senada dengan seragamnya. “Sana coba lo samperin.”

“Mau ngapain?”

“Silaturahmi sama masa lalu.”

“Wedhus!”

Satu lirikan mata sudah Rilov berikan pada Gava. “Ya lo pikir aja? Ngapain-ngapain. Lo satu tahun nggak penasaran, dulu kenapa dia nggak datang waktu praspa?”

“Enggak.”

“Ya udah, gue doain sepanjang pulang nanti lo kepikiran.”

Baru juga Gava ingin memiting leher sahabatnya, tetapi gagal begitu suara dari arah podium pembawa acara sudah menginstruksi mereka.

“Kepada teman-teman kedua mempelai dari Angkatan 51 SMA Navagraha, Jakarta. Dimohon untuk menuju ke podium utama, dan berfoto bersama dengan kedua mempelai yang berbahagia.”

Dari sudut kiri hingga ujung di sebelah kanan podium utama. Sudah rapi bersaf dan banjar dari barisan anak-anak alumni Angkatan 51 SMA Navagraha.

“Foto ketiga gaya bebas, ya. Kita hitung… tiga, dua, satu….”

“Asta Na Rakça!” teriak Abee.

“Jaya!” Puluhan kepala itu serempak bersorak di podium utama.

Ternyata sorak-sorai mereka berbuah tepuk tangan yang meriah dari para tamu undangan di sana. Lagi-lagi Gava merasa cukup bangga, SMA Navagraha telah mencetak satu ikatan generasi anak-anak muda yang bisa sehati dan serasa.

“Di Jakarta lo sampai kapan?” tanya Abee, selepas Gava memberi ucapan selamat, berjabat tangan dan pelukan saudara.

“Habis ini langsung balik Semarang lagi sama Rilov.”

“Cuma sehari lo berdua?”

“Tadinya mau tinggal sehari lagi, tapi karena tadi pagi ditelpon sama pimpinan katanya ada yang mendesak, ya mau gimana lagi.”

“Berarti ini langsung ke Seotta?”

“Iya, habis ini langsung bertolak ke Ahmad Yani.”

“Ke bandaranya sama siapa?”

“Sama temen satu detasemen waktu di Akpol dulu. Untungnya hari ini kosong, jadi dari tadi melayat sampai ke Balai Sudirman dianterin dia.”

Abee yang tengah mengedarkan pandangan pun sedikit heran. “Terus itu Rilov ke mana? Habis ketemu gue langsung pergi ditarik siapa tadi.”

“Makanya, ini gue mau cari itu anak wortel pergi ke mana,” balas Gava, matanya ikut menyapu pandangan di depan podium utama. “Ya udah kalau gitu, gue pamit sekalian, ya, Ndan? Berbahagia lo berdua.”

“Makasih polisi ganteng!”

Setelah hormat sebentar, pemuda Altares itu langsung turun dari podium utama. Mata nyalangnya mulai berusaha mencari keberadaan Rilov yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Padahal mereka harus ke bendara untuk bertolak ke Semarang malam ini juga.

Selepas mencari-cari di kerumunan, bukannya Rilov yang didapatkan, Gava malah tak sengaja bersikutan dengan seseorang.

Sampai tibalah momen puitis itu hadir lagi di antara mereka. Api sukma yang sudah berkobar sejak lama, akhirnya kembali berdetak lebih keras dari sebelumnya, lebih keras daripada dentuman ombak samudra pada karangnya.

“Lama nggak ketemu, ya?” ucap Rona, gadis itu sudah mendongak hingga melihat penutup kepala Gava. “Begitu ketemu lagi udah punya pet Tribrata kuning emas aja.”

Iya, seharusnya lo di sana waktu gue dapat pet ini, Rona. Ucapan itu hanya sebatas ungkapan yang bersarang di hatinya. “Iya, udah lebih dari lima tahun kita nggak ketemu lagi. Mama sama Papa gimana, sehat?”

“Puji Tuhan, Mama masih diberi sehat, kalau Papa—”

“Gav, ayo pergi! Udah ditunggu Naufal juga,” potong Rilov yang tak sadar bahwa Gava tengan berbincang pada Rona. “Eh, ternyata ada gadis balet kesayangan kita, apa kabar, Ron?”

“Gue baik, kok.”

“Sori banget nih, Ron, gue harus nganggu waktu lo berdua. Soalnya gue sama Gava udah ditungguin temen daritadi, kita yang nggak enak.”

“Nggak papa, kalian pergi aja.”

“Kapan-kapan lagi kita sambung, ya. Ayo, Gava!”

Pemuda jangkung itu pasrah berjalan mundur ketika lengannya sudah mulai ditarik sama pemuda Askara Cakra. “Rona, gue duluan, ya?”

Rona yang melihat dari kejauhan hanya melambaikan tangan, seraya melukis satu bait senyuman kemudian berucap dengan suara begitu pelan.

“Hati-hati di jalan.”

Gava mendengarnya, kalimat berisi empat kata itu langsung berputar di kepala. Walau memang hanya sekadar ucapan saja, mungkin kalimat itu sebuah pertanda yang memiliki makna seperti lagu yang pernah melintas di ruang telinga.

Kukira kita akan bersama, ternyata jalan kita berbeda cerita.

**

“Kok kalian cepet banget baliknya,” seru Naufal dari kursi kemudi, begitu terkesiap melihat Rilov dan Gava yang sudah kembali. “Kan aku bilang tadi santai aja, masih punya sedikit waktu, kalau kalian mau masuk lagi nggak papa, aku tungguin.”

“Lah, kirain lo tadi misscall gue gara-gara—”

“Ah, tadi nggak sengaja kepencet waktu hpku jatuh.”

Seperti tubuh yang siap ditembak mati saat itu juga. Rilov yang merasa bersalah langsung melirik Gava di depannya. “Gav, sumpah! Gue tadi nggak sengaja ngerusak—”

“Berangkat sekarang aja.” Yang disebutkan namanya langsung menutup pintu mobil dan memotong kalimat Rilov. “Antisipasi aja kalau di jalan kena macet.”

“Gav, lo nggak marah sama gue, kan?!”

“Lihat nanti kalau udah sampai Semarang.”

“Gava!”

Yang duduk di kursi pengemudi sudah menahan gelak tawa melihat tingkah Rilov yang meminta ampun di kursi belakang mereka. Ternyata manusia yang suka makan wortel ini masih saja suka bercanda. Hingga akhirnya kendaraan roda empat berbadan besi itu mulai membelah padatnya jalanan ibu kota.

Sambil melihat jalanan malam Jakarta, jemari Gava mengecek ponselnya. Tadinya ia hanya ingin mengangkat panggilan telpon dari kakenya. Namun entah mengapa jemari itu kemudian malah iseng membuka Instagram pribadinya. Dan ternyata dibaris Instagram Stories pertama, sudah ada postingan dari Rona.

Di postingan itu sudah terpampang gambar gadis itu dengan sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan.

Kak Rona, tadi anak-anak Trinken pada datang semua ke pernikahannya, Kak Abee?

Lengkap dong! Dan ada satu cerita unik bagi gue pribadi tadi. Gue nggak tahu ya apa ini cuma gue aja, atau anak-anak yang lain juga ngerasain hal yang sama.

Jadi ketika gue selesai lihat tradisi prosesi pernikahan militer tadi, di mana ketika mempelai laki-laki—jangankan Abee nangis, matanya berkaca lalu memalingkan wajah karena saking bahagiannya dia—ngelihat mempelai perempuannya.

Saat itu hati gue kayak diketuk pelan. “Tuhan, apakah semagis ini ya ibadah pernikahan?” Kenapa tulusnya itu seakan bisa gue rasakan. Dalam hati langsung ikut berdoa. Tuhan, jika memang benar begitu rasanya, tolong berikan diri ini kesempatan yang sama. Pertemukan hati ini, dengan nama yang sudah Engkau gariskan ketetapannya.

Rilov yang mencuri pandang melihat mimik wajah Gava langsung iseng menggoda. Ini anak satu memang tidak ada kapoknya kalau mencari gara-gara.

“Wisata masa lalu emang perjalanan yang paling manis sampai bisa mencuri atensi. Iya, kan, Gav? Lihatin aja terus fotonya sampai besok pagi.” Pemuda Altares yang tertangkap basah langsung mematika layar ponsel dan segera memalingkan wajah. “Halah, udah ketahuan masih ngeles lagi. Lo mau tahu nggak, Gav?”

“Enggak.”

Deal nih ya lo nggak mau tahu?”

“Enggak.”

“Lo nggak tahu Rona habis putus dua minggu lalu?”

“Engg—Apa kata lo tadi?” Bola mata itu lantas membulat sempurna. Dari bangku depan, kepalanya langsung berotasi ke arah belakang. “Dari siapa lo tahu?”

“Rahasia,” cibir Rilov, lengkap sambil menjulurkan lidah dan tangan yang terlipat di depan dada.

Gava yang masih tenang langsung menoleh ke bangkunya Naufal. “Fal, di mobil ada sangkur atau laras panjang nggak?”

“Bercanda, Nalendra Galva Altares. Bercanda!” teriak Rilov, saking paniknya. “Iya, iya gue kasih tahu. Gue juga cuma tahu waktu tadi ditarik sama ibu bendahara kelas kita dulu.”

“Dari Gistha?”

“Iya, ibu rumpi itu tadi nggak sengaja keceplosan. Lagian juga Gistha dulu satu fakultas yang sama Rona.” Sampai tiba waktunya, Rilov jadi teringat juga satu cerita dari Sonia. “Dan oh ya, Gav, gue akhirnya tahu dulu kenapa Rona nggak dateng waktu Praspa.”

Seketika sebuah beban seperti ditaruh di pundak Gava. Walau di benaknya ada rasa ingin tahu yang membara, tapi separuh hatinya mengatakan ia hanya akan terluka bila mengetahui faktanya, apalagi kalau alasan itu nanti semakin membuatnya kecewa.

Rilov yang membaca air muka Gava sekali lagi menawarkan. “Lo yakin, nggak mau tahu? Soalnya ini nyangkut Bokapnya Rona.”

“Kenapa sama Papanya?”

Napas panjang itu Rilov embuskan. “Pagi itu… ternyata Rona dapat kabar duka, kalau Papanya meninggal dunia.” Detik itu seperti ada suara dentuman jam yang berdentang begitu keras di dalam raga milik Gava. “Waktu itu dia langsung terbang ke Denpasar. Bahkan tadi kata Sonia, Rona sempat mengalami insiden kecopetan juga waktu tiba di sana, sampai dia kehilangan tas sama segala isinya. Anak-anak yang deket sama dia juga baru tahu hal ini setelah dua minggu Rona balik lagi ke Jakarta. Gue berdosa banget udah berburuk sangka sama Rona.”

Pandangan pemuda Altares itu tiba-tiba langsung hampa. Tubuh yang tegang itu akhirnya ia sandarkan tak ada daya. Ia tekan pelipis di wajahnya begitu lama. Hingga satu pukulan begitu keras tiba-tiba ia hantamkan pada dashboard di depannya.

“Gava lo tolol!” maki sang pemuda Altares sembari mengusap dengan kasar air muka.

Segeralah Gava menyalakan lagi ponselnya. Dan benar saja, nomer telpon Rona tak bisa dihubungi Gava. Pemuda itu kira, selepas Prasetya Perwira adalah akhir dari cerita mereka. Seandainya saja waktu itu ia lebih bersabar mencari Rona. Sandainya saja… iya, penyesalan selalu datang diakhir cerita.

Apa mungkin ini salah satu hukuman bagi Gava, ketika waktu yang baik ia sempat berprasangka buruk pada semesta?

Rona tidak pergi Gava.

Untukmu, hatinya masih tinggal di sana lebih lama.

Kamu masih hidup di hatinya.

Setelah keadaan cukup tenang Gava buka lagi Instagram Stories Rona. Namun bukannya ia langsung mengetik pesan di sana, jemarinya justru tiba-tiba kaku tak tahu harus menulis apa. Rilov yang lumayan tak tahan melihat tingkah Gava, langsung merebut ponselnya dan menuliskan sesuatu di sana. Rilov balas stories gambar Rona tadi dengan akun Gava.

Gava: Kalau nama yang udah Tuhan tetapkan itu adalah gue….

Gava: Rona, lo mau? Jadi Ibu Bhayangkari gue?

“Ya!” teriak Gava, panik begitu dia membaca pesannya pada Rona.

Rona: Demi Tuhan, Gava!

Rona: Bercanda lo nggak lucu sumpah!

Gava pun langsung menoleh ke arah Rilov lagi. Ingin rasanya Gava melempar pemuda yang menahan tawa itu keluar dari bumi. Naufal yang tadinya ikut tegang kini jadi lega berada di pengemudi, sempat terheran juga karena baru pertama kali dia melihat Gava jadi sepanik tadi, padahal dulu waktu di akademi groginya tidak separah ini.

“Jadi lo mau gimana, mau kehilangan dia lagi… atau jujur sama hati? Kesempatan nggak ada ketiga kali.”

Mungkin perkataan itu ada benarnya. Tanpa pikir dua kali, jemari itu langsung menari di atas layar ponselnya membalas pesan Rona lagi.

Gava: Lo ada di mana?

Gava: Udah pulang?

Gava: Gue samperin ke rumah, ya?

Rona: Nalendra Fernandito Galva Altares!

Tanpa komado kedua kali, begitu mereka berhasil keluar dari pintu tol dalam kota Gava suruh Naufal untuk segera menepi.

“Ya, lo mau ke mana?” panik Rilov, begitu melihat Gava mulai melepas seatbeltnya.

Bukannya menjawab pertanyaan sahabatnya, pemuda Altares itu justru membuat pernyataan lain. “Kesempatan nggak datang ketiga kali, kan? Jadi tolong reschedule gue ganti ke penerbangan domestik pertama yang jam lima pagi, lo sekarang terbang dulu nanti gue susul waktu apel pagi,” pungkas Gava, pemuda itu langsung turun menutup pintu mobil dan berlari di trotoar.

“Ya, kita apelnya jam setengah tujuh pagi! Lo kalau mau bahagia jangan bagi derita ke gue juga!” teriak Rilov lagi dari jendela. Naufal yang melihat langsung menggelengkan kepala sambil tertawa. “Emang demit! Kena disiplin lagi ini kita.”

Gava: Angkat video call gue.

Rona: Gava, jangan bercanda, ya.

Panggilan video itu langsung tertera di layar ponsel Gava. Dengan jelas ia bisa melihat Rona yang panik karena tingkahnya yang aneh tiba-tiba.

Rona: Gava, lo ngapain?!

Gava: Lagi lari nyari taksi mau ketemu lo dulu.

Gava: Penerbangan lo gimana?!

Gava: Semarang masih bisa gue tunda, ketemu lo yang nggak bisa.

Rona: Gava!

Sudah tahu sekeras batu keteguhan Gava, hingga ia tak menghiraukan ucapan Rona. Begitu mendapatkan taksi pemuda Altares itu langsung melesat menuju kediaman gadis Anucara. Satu jam perjalanan tak terasa begitu kendaraannya sudah sampai di depan rumah Rona. Gadis itu masih berdiri di depan pagar sambil bergumam tak percaya , bahwa Gava benar-benar datang ke rumahnya dengan rencana gila.

Lagi-lagi waktu seperti behenti di akhir cerita. Jarak yang kini terbentang di depan mereka, perlahan mulai Gava kikis sekatnya. Dari satu tapak hingga langkah itu berakhir tepat di depan Rona.

“Gava—”

Terlambat, pemuda itu sudah lebih dulu merengkuh tubuh Rona kedalam pelukan hangatnya. Cerita lima tahun lalu ketika di Bumi Bhayangkara, seperti kembali terulang di depan mata. Tak ada suara lagi dari dua manusia. Hanya ada embun yang kini menyelimuti kedua mata Gava. Ada debaran yang ia kira sudah mati lama ternyata kini masih tetap bersenyawa.

Semesta memang pandai perihal menenun cerita.

Ia jatuhkan perasaan itu hingga kehilangan harap, lalu ia ulurkan sebuah rasa lama untuk kembali didekap.

Malam ini, sebuah pulang menemukan kembali rumahnya yang hilang.

“Lho, ini bukannya Gava, ya?”

Sebuah suara akhirnya mengakhiri pelukan mereka. Wanita paruh baya sudah berdiri di dekat pagar rumah Rona.

“Iya, Tante. Ini Gava.”

“Wah, kalau kamu pakai seragam begini, sekarang kelihatan gagahnya ya ketika jadi perwira? Eh, tapi bukannya kata Rona, sekarang kamu ditempatkan di Semarang, ya?”

Gava yang mendengarnya langsung melihat ke arah gadis di sebelahnya, ternyata selama ini Gava salah terhadap prasangkanya. Rona masih sama. Ia masih berdiri setia di sana, memegang harapan itu di dalam hatinya perihal Gava.

Rona yang mendapat tatapan pun langsung membuang muka.

“Iya, Tante. Penempatan pertama Gava ada di Polda Jawa Tengah. Kebetulan hari ini balik ke Jakarta, buat hadir ke pernikahannya Abee.”

“Lalu malam-malam begini kamu ke sini ada apa?”

Air muka pemuda itu sekali lagi menoleh ke arah Rona. Tangan Rona yang tadinya menggenggam udara, kini Gava raih di sana. “Tante, Gava minta maaf sebelumnya. Mungkin Gava kurang sopan malam-malam begini dateng ke rumah untuk bertemu Rona. Tetapi tadi sebelum Gava sampai bandara, ada teman baik yang bilang seperti ini sama Gava, ‘Kesempatan itu tidak datang ketiga kalinya’, karena di hari lalu Gava pernah kedua kali kehilangan Rona. Jadi tanpa pikir panjang Gava putuskan untuk datang ke sini menemui Rona, juga untuk meminta izin sama Tante.”

“Kamu mau minta izin apa?”

“Tante boleh, kalau anak Tante ini jadi Ibu Bhayangkarinya Gava?”

**

Waktu dulu Gava mendapat agenda Izin Bermalam Diluar sebagai seorang taruna, pemuda Altares itu pernah membaca satu kutipan dari W.S. Rendra yang tertulis begitu indah ketika ia pergi ke Jogja. Kutipan itu berbunyi seperti ini, “Mencintaimu adalah bahagia & sedih; bahagia karena memilikimu dalam kalbu; sedih karena kita sering berpisah.”

Sejak bertemu kalimat itu, selama mengenyam pendidikan sampai menyandang Brigadir Taruna. Ada sesuatu yang membuat Gava semakin erat membawa nama Rona di setiap ia berproses di Bumi Bhayangkara.

Mungkin memang benar jarak dan waktu adalah sebuah ujian dalam setiap hubungan. Namun tak lantas membuat Gava menyerah pada perasaan. Terbukti sudah pada hari ini, entah Semarang kali ini sedang sejuknya karena langit habis bersedih, atau mungkin ini hanya perasaan Gava. Yang jelas sore menjelang senja, setelah satu tahun di depan rumah Rona mereka kembali bersama. Gava benar-benar merasa dunia tengah memeluknya bahagia.

“Kamu ngapain ajak aku ke akademi?” ucap Rona, begitu lengannya ditarik Gava pada patung Taruna Tunas Bhayangkara.

“Mau mengenang kamu di sini.”

“Puitis amat, Bapak?”

“Kamu yang hadir dalam setiap momen puitis itu.”

Rona tatap lekat kedua mata sang pemuda. Tidak ada kebohongan yang Rona temukan di sana.

“Sebenarnya aku masih penasaran dengan satu hal.” Langkah mereka berhenti, dua manusia itu saling berhadapan lagi. “Sudah satu tahun ini coba aku menahan, bahkan sempat aku lupakan, tapi kini justru malah semakin menguasai pikiran. Ini tentang aku, kamu, dan selepas praspa.”

Gadis itu paham dengan maksud Gava. Pemuda Altares ini setidaknya sekali ingin mengetahuinya, tetapi ketika Gava ingin bertanya, ia tak tega bila suatu saat bisa membuka luka lama lagi bagi Rona.

“Kamu tahu, aku kira hari itu bakal jadi awal di mana aku kembali menulis cerita tentang kita. Penantian selama empat tahun lamanya ternyata segera menuai akhir bahagia. Malam sebelumnya, aku bahkan sudah menelpon Papa. ‘Papa, Rona mau minta izin, ya? Besok Rona mau datang ke Prasetya Perwira. Ada seseorang yang Rona tunggu di barisan di sana’, saat itu Papa cuma diam lalu beberapa waktu sempat-sempatnya menangis sambil bilang.

‘Anak kecil Papa ternyata kini sudah dewasa, ya?’

Itu pertama kali dan terakhir aku mendengar Papa menangis. Pertama kali dan terakhir juga aku bisa seterbuka itu berbicara sama Papa.

Sampai saat ketika sebelum aku berangkat, Mama telpon. Dia nangis, Gava. Tangisnya benar-benar membuat aku berpikir yang tidak-tidak. Dalam hati aku berdoa, enggak, enggak mungkin hal itu terjadi. Sampai akhirnya kabar duka itu benar-benar datang di hari yang seharusnya bahagia.

Salah satu orang yang paling aku sayang, ia berpulang.

Tuhan, kenapa secepat ini perpisahan?”

Gava rengkuh ke dalam pelukan tubuh Rona. Luka lama itu benar-benar kembali terbuka. Sayatannya memang terihat tipis, tapi mampu menorehkan banyak tangis.

Gava usap bening yang jatuh dar kedua mata Rona. “Aku memang nggak bisa melarang kamu untuk berhenti menangis. Tapi kalau dengan berhenti bercerita bisa membuat sedih kamu berkurang. Berhenti aja, ya? Kita pulang. Aku janji nggak akan bertanya soal ini lagi.”

Gadis itu menggelengkan kepala. “Nggak papa, aku masih bisa cerita. Kehilangan Papa memang bagian terberat buat aku, tapi setidaknya walau sekali, aku ingin membaginya dengan kamu. Kamu mau dengar, kan?”

Sebuah sabit tipis terlukis di wajah Gava.

Bagi Gava, jika bahagia saja dibagi berdua, bukankah rasa sedih juga harus adil dipikul sama rata? Jika hanya menginginkan rasa senang saja, untuk apa semesta menghadirkan rasa sedih ke dunia?

“Hari itu aku benar-benar kehilangan banyak hal. Tubuh ini bahkan sudah beberapa kali sampai pingsan. Belum lagi di saat itu aku pun sempat dapat musibah kecopetan. Mungkin kalau saja waktu di Denpasar itu aku tidak bertemu Kak Naksa, mungkin tidak ada Rona yang sekarang.

Satu minggu pertama rasanya aku seperti orang yang kehilangan sebagian jiwa. Makan tak ada rasa. Ingin pun sudah hilang ditelan duka. Mama bahkan sering menangis ketika melihat kesedihan anak tunggalnya.

Dan ketika semua perlahan sudah mulai pulih membaik lagi, aku dan Mama akhirnya pulang ke Jakarta untuk menata lembar baru kembali.

Tadinya begitu sampai rumah, aku melihat satu buket bunga yang mengering di atas meja. Waktu itu aku langsung teringat pada satu hal, aku sudah mengingkari satu janjiku sendiri pada hati, pada kamu yang mungkin dulu sempat menanti.

Sampai ketika beberapa lama, setelah menimbang banyak perkara. Aku coba memberanikan untuk memberi kabar perihal ini sama kamu. Namun sebelum itu, aku nggak sengaja melihat kamu di postingan Abee sedang tersenyum bahagia dengan perempuan berkemeja dinas biru.

Waktu itu aku pikir, mungkin dengan cara Tuhan menunjukkan foto itu kepadaku, adalah jalan terbaik dari Tuhan buat aku. Sebuah teguran karena aku mengingkari janjiku. Akhirnya aku urungkan semua niatku untuk memberi tahu kamu. Mungkin ada benarnya, mungkin kamu sudah menemukan seseorang yang lebih tepat untuk tinggal di hatimu.

Seiring berjalannya waktu, aku kembali belajar lagi untuk melepaskan sesutu yang ternyata bukan takdirku.

Dan Tuhan dengan baiknya langsung mengabulkan doa. Dia hadir ketika aku meminta. Naksa. Nataksa Gema Alusagara. Mungkin kamu sudah lebih tahu dia. Kakak kelas kita waktu SMA, kakak tingkat aku di fakultas yang sama, teman satu Ibadah Pemuda, dan kebetulannya pula, dia juga, manusia yang waktu itu menjadi tumpuan ketika aku bertemu banyak kepergian.

Semakin lama aku dan dia bersama, semakin pula aku mulai berpikir di kepala. Tuhan, mungkinkah Kak Naksa yang menjadi baik sangka dari semua luka?

Ketika aku mulai mencoba menerima hadirnya menjadi tempat baru di mana hatiku tumbuh, semakin lama juga waktu berusaha membuatku sembuh. Justru bukannya aku berhasil melupakanmu. Namun semakin lama kamu malah hadir lagi di rumah itu di hatiku.

Tuhan, ada apa denganku ini?

Dengan bodohnya bahkan aku mencari sosok kamu pada dirinya, tapi tak kutemukan semua.

Sampai akhirnya, dia tahu yang sebenarnya. Bahwa di hatiku masih ada nama yang nggak bisa dia gantikan posisinya di sana. Aku benar-benar jadi manusia terjahat di dunia. Kurang baik apa dia, Rona? Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Perihal rasa aku juga tidak bisa mengatur ke arah mana nanti hati ini bermuara.

Kita pun memutuskan untuk berpisah baik-baik setelah bersama di perayaan bulan kelima. Aku masih di Jakarta, dan dia melanjutkan studinya ke California. Sebelum dia pergi, dia bilang ini sama aku.

‘Aku nggak tahu seberapa kuat nama itu bisa tinggal begitu lama di hati kamu. Tapi aku berdoa, semoga nama itu yang kelak memang menjadi rumah untukmu’.”

Detik itu langsung Gava palingkan wajahnya, ternyata kabut justru kini datang di kedua mata.

“Kenapa kamu yang malah terharu, sih?” ujar Rona, seraya mengusap pelan luruh di wajah Gava.

“Kapan-kapan, kita ketemu sama Mas Naksa, ya?”

“Kamu mau ngapain?”

“Aku cuma mau berterima kasih sama dia. Sudah menjaga kamu sebaik ini di saat kamu benar-benar jatuh terluka; di saat aku waktu itu nggak bisa berbuat apa-apa.”

Mungkin bukan hanya sekali Rona kagum dengan cara Gava memaknai yang ia punya. Karena pemuda itu benar-benar punya setiap kejutan yang tak terduga. “Aku nggak nyangka, manusia dingin ini ternyata sudah dewasa.”

“Kamu penasaran nggak,” ucap Gava, menjeda kalimatnya. “Alasan sebenarnya, kenapa aku ngajak kamu ke sini, berdiri di Gerbang Utama Tanggon Kosala?”

“Kenapa?”

“Ada satu janji yang ingin aku ambil lagi dari semesta di tempat ini.”

“Janji?”

Dua manusia itu mulai berjalan mendekati pintu gerbang utama.

“Sebelum Papa kamu pergi, jauh di hari lalu Papa kamu membawa satu pesan untuk anak tunggalnya. Pesan yang dulu secara tidak sengaja, ternyata dia titipkan sama manusia nakal yang bernama Gava.

Kamu masih ingat ketika dulu kita awal SMA, kamu dan keluarga pernah bertemu aku sama kakek selepas ibadah pagi bersama.

Waktu itu aku sempat ngobrol sebentar ketika di dalam gereja sama Papa kamu. Papa kamu pernah cerita begini saat dia nggak sengaja melihat anak-anak taruna berseragam sedang berdoa di sana.

‘Kalau melihat temen-temen Om, kadang Om ini sempat iri sama mereka, karena punya anak-anak yang mau terjun ke dunia seperti Ayahnya. Rasanya pasti bahagia ketika anaknya jadi taruna.

Sedangkan Om, Om itu tidak begitu dekat sama Rona karena masa dinas Om yang sering berpindah tempat. Rona juga jauh lebih seneng ketika menari bebas ke mana-mana tanpa terikat. Walaupun nanti Rona tidak mau terjun ke dunia yang sama dengan Om, tapi bisa melihat Rona menemukan rasa sukanya pada sebuah hal yang dia tekuni begitu hebat.

Sepertinya rasa bahagia Om jauh lebih besar daripada rasa iri tadi.

Karena terkadang melihat anaknya bahagia, juga bagian dari rasa syukur bahagianya orang tua.’

Lalu sebelum Papa kamu keluar dari gereja, dia sempat bergumam ini sambil melihat para taruna berdoa. ‘Coba kalau kelak Rona menikah dengan salah satu dari barisan mereka. Om pasti semakin bahagia.’

Aku nggak tahu, kalau ternyata kalimat Papa kamu waktu itu bisa jadi salah satu alasan kenapa aku… berjuang segigih ini buat jadi salah satu manusianya Bumi Bhayangkara.

Om Arka, maafin Gava karena terlalu lama menemukan Rona.”

Gadis itu kini yang langsung menunduk, tangisnya kembali jatuh untuk kedua kali di gerbang pintu gerbang Bumi Bhayangkara. Sambil melipat satu lututnya, Gava keluarkan sebuah cincin yang dulu sempat mau ia berikan selepas Prasetya Perwira.

“Dulu, di tempat ini aku pernah melepaskan kamu dari segala takdirku kepada Maha Semesta. Aku berjanji padanya di Bumi Bhayangkara. Bila pada akhirnya kelak kita memang bersama, aku ingin meminta janji itu lagi dari tempat yang sama.

Rona? Dihadapan patung Taruna Tunas Bhayangkara di depan Gedung Tribrata Utama, dibawah naungan Gerbang Utama Tanggon Kosala dari Bumi Bhayangkara, aku Gava… meminta kepadamu dengan segala doa puja atas syukur karunian-Nya.

Rona… maukah kamu menjadi teman sehidup serasa dengan Gava?”

**

“Gava, lo ngelihat apaan?”

Dari tempat makan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, satu tangan sudah Rona ayunkan di depan muka sang pemuda. Gava yang tadinya duduk melamun di depan Rona langsung menggelengkan kepala.

“Enggak lihat apa-apa,” balas Gava, membohongi dirinya. “Udah lanjutin aja  makannya. Keburu dingin nanti.”

Merasa ada yang mengganjal dengan tatapan Gava, gadis yang duduk di bangku kelas sepuluh itu palingkan kepala ke arah di mana pandangan sang pemuda. Ternyata ada beberapa anak berseragam PDH cokelat dengan berpataka Akademi Kepolisian di bagian penutup kepala yang berjalan mendekat ke arah meja mereka. Barulah Rona tolehkan lagi pandangan itu ke arah Gava.

Ingin rasanya Rona bisa membaca apa yang sedang dipikirkan oleh manusia di depannya. Apa yang berenang di kepala Gava, sama dengan yang ada di benak Rona?

“Lo pengen ya jadi taruna?” tebak Rona.

“Nggak tahu.” Gava membalas seadanya. “Cuma ada rasa bangga aja kalau lihat taruna pakai seragam.”

“Gue kalau lihat taruna. Jadi keingetnya sama Papa.”

“Oh ya, Papa lo dulu juga taruna, ya?”

Gadis Anucara sedikit menganggukkan kepala. “Iya, lulusan 97 dari almamater Lembah Tidar. Padahal cita-cita Papa dulu pengen masuk Bumi Bhayangkara biar sama kayak Pakde. Tapi mungkin waktu itu rezekinya Papa memang jadi bagian dari Bhinneka Eka Bhakti. Kalau pun dulu Papa jadi masuk Akpol, mungkin nggak akan ketemu sama Mama. Lo juga nggak akan ketemu sama orang yang namanya Wiling Rona Anucara.”

Gava pulas sedikit tawa. Tiba-tiba satu tanya aneh terlintas di kepala. “Semisal… kalau nanti udah dewasa, pengen nggak kayak Mama, bisa menikah sama seorang perwira?”

“Kenapa jadi mikirnya sampai jauh ke sana?”

“Kan gue bilangnya semisal.”

“Kalau dibilang pengen kayak Mama, pasti ada. Walau ketika sudah menikah mereka terkadang sering berpisah kota karena masing-masing pekerjaan Mama dan Papa. Mama itu kalau cerita waktu ketemu sama Papa, bahagia banget dia ceritanya. Sampai anaknya ini ikut terharu kalau mendengar cerita Mama, kayak sebegitu indah perjalanan kisah mereka.”

“Denger lo bahagia gini waktu cerita, gue pengen jadi taruna.”

“Hah?”

“Rona, lo lebih suka Magelang atau Semarang?”

Mata itu bertemu mata. Beberapa jeda tidak ada suara dari mereka. Hanya gelombang rasa yang kini berjalan di antara kedua manusia.

“Semarang.”

Untuk segala elemen tangan baik yang membantu terlahirnya cerita Manusia Bumi Bhayangkara. Saya ucapkan terima kasih setulus sinar surya pada kasih sang butala.

Dan untuk segala kesalahan yang mungkin kalian temukan di dalam cerita. Saya ingin meminta maaf juga. Karena ketika saya menulis ini dengan sependek pengetahuan yang saya punya. Sekali lagi saya ingin mengucapkan maaf bila memang masih banyak kurang dan salahnya. Kalau pun dari teman pembaca atau mungkin dari para taruna yang kebetulan sempat membaca, bila ada hal yang ingin ditambahkan atau dikoreksi atas kesalahan dari beberapa sudut pandang cerita, dengan senang hati akan saya terima masukan membangunnya.

Tujuh di bulan kelahirannya negara. Dari Bumi Mataram Yogyakarta, ini navaenra yang masih banyak kurangnya.

error: Content is protected !!