Simfoni Satu Notasi

“Untuk melodi bunga hati,
walau nada ini perihal kita dalam
sebuah sabana mimpi.”

Been here all along, so why can’t you see?

Crocs berona putih tua dengan pernak-pernik merah muda di kaki itu sudah menghentikan langkahnya. Di depan sebuah pelataran rumah bergaya modern minimalis tersebut Aru sudah menengadahkan pandangan ke bagian lantai dua. Walau terdengar begitu samar di telinga, gadis itu tahu lagu siapa yang baru saja melintas di ruang udara.

Ya lagu siapa lagi kalau bukan—

“Sori ya kalau agak berisik?” Seorang pemuda berhoodie biru muda dengan tulisan Michigan itu menyeletuk. “Itu Kula sama temen-temennya lagi karaokean di atas, dari tadi nggak berhenti muter albumnya Taylor Swift.”

Seperti tengah berada di antara sebuah adegan film ke-sukaannya—yang tiba-tiba ruang dan waktu melambat dan membeku seketika. Di sepetak stepping stone Aru sudah termenung dipijakannya, tepat begitu pemuda dengan mata yang indah tersebut berjalan mendekat ke arah dia.

Jatuh hati lagi, pada cinta pertama yang tak bisa dimiliki.

Kalimat yang baru saja Aru bisikan dalam hati itu mungkin menjadi gambaran paling nyata untuk dirinya. Kalau ditanya kenapa bisa ia membatin sedemikian rupa, semua bermula ketika gadis kelahiran Jakarta tersebut ikut saudara kembar-nya. Iya, sore kali ini Aru ikut Djo untuk singgah ke sebuah kediaman bergaya geometris tegas milik keluarga Adibrata, atau lebih tepatnya ke rumah Caka—teman satu SMA-nya.

Kalau bukan karena pemuda tampan yang barusan menyapa, mana mau gadis berkaus putih dengan motif bintang-bintang warna biru muda itu mengikuti Djo sampai ke rumah Caka.

Eh, tetapi jangan salah sangka dulu, ya!

Bukan seorang Caka yang baru saja menyapa, pun yang menjadi pujaan dari si gadis Aruna. Melainkan Gusti Jalu Adibrata, anak kedua atau kakak keduanya Caka.

“Aru?” panggil Jalu, lengkap dengan lambaian telapak tangan di depan wajah gadis itu. “Lo nggak papa?”

“Cuekin aja, Bang,” tukas Djo tiba-tiba, cowok dengan singlet putih berlapis jaket bomber cokelat muda itu berjalan mendekat ke halaman rumah Adibrata. Lantas ia benturkan kepalan tangannya begitu pelan pada punggung tangan Jalu sebagai bentuk salam sapa. “Kadang emang sering kerasukan jadi patung batu gini anaknya.”

“Yang bener aja lo, masa cantik begini sering kerasukan?”

Satu kalimat tanya yang baru saja Jalu lontarkan dengan sederhana, langsung membuat gadis berjepit rambut itu menundukkan kepala—menyembunyikan air muka.

“Mana ada cantiknya, Bang?!” Djo sudah menyangkal sekuat tenaga. Seperti beberapa kebiasaan dari tabiat bersaudara pada kisah keluarga lainnya. Bertengkar adalah bagian dari nama tengah mereka. “Orang dekil belum mandi gini lo bilang cantik.”

Sudut mata gadis Weltevreden itu langsung menyipit tajam ke arah saudaranya.

Emang manusia paling tai itu Djomas Bumi Weltevreden!

Kalau dipikir secara rasional sekali lagi, salah gadis itu juga sih tadi. Belum sempat untuk mandi, tapi dia malah maksa ikut Djo sampai ke rumah ini. Seandainya saja gadis kelahiran Jakarta itu bisa memukul kepala kembarannya, sudah Aru lakukan sekeras mungkin saat ini juga. Namun, oh astaga! Jangan lupa ingatkan Aru untuk menjaga sikapnya di depan seorang Jalu Adibrata.

Ya kali gadis itu menunjukkan sisi garangnya?!

“Tapi belum mandi aja kembaran lo tetep cantik lho, Djo,” papar Jalu. “Gimana kalau udah? Jadi secantik apa dia?”

Yang benar saja kau, Semesta!

Kau ini memang sengaja, ya, berencana membuat wajah Aru semerah tomat ketika mendengar ucapan Jalu Adibrata?

“Bang buruan nyebut lo, Bang!” Djo sudah berseru, tentu saja selepas rahang bawahnya hampir jatuh saking tak percayanya mendengar perkataan Jalu. “Lo ketempelan setan mana lagi, Ba—”

Bug!

Belum sempurna pemuda Weltevreden itu mengutarakan, tangan yang dari tadi sudah sibuk menahan kepalan, akhirnya Aru lepaskan satu pukulan. Persetan dengan menjaga sikapnya di depan Jalu, kembarannya ini memang perlu dikasih pelajaran saat itu.

Yang dipukul langsung menolehkan kepala dengan gesit. “Sakit anjir leher gu—”

“Maafin kembaran Aru yang berisik banget ini ya, Mas—eh maksudnya, Kak.”

Setelah diawal temu tadi Jalu, kini giliran Aru. Dua manusia itu kini jadi saling meminta maaf karena kebisingan yang dilakukan oleh saudara mereka. Tentu Aru berbicara seperti itu selepas ia berhasil menjepit bibir Djo dengan tangan kanannya—sebelum omelan dahsyat dari pemuda kelahiran Jakarta itu mengudara tidak ada habisnya.

Pada pijakan kaki tempat di mana Jalu berada, ternyata permasalahan antar saudara di sebuah keluarga itu sama. Keributan menjadi tokoh kedua dalam cerita. Lihat saja dari manusia kembar di depannya, membuat Jalu teringat pada pertengkaran dia dengan kakak dan adik-adiknya.

Jalu pun lantas mengeluarkan indahnya suara tawa. Bunyi yang membuat perasaan Aru semakin jatuh pada lubang bertepuk sebelah tangannya.

Sekarang sedikit paham sang pemuda Adibrata, mengapa adik laki-lakinya betah sekali bertemen dengan Djo dan Aru sejak SMP sampai berlanjut di bangku SMA. Iya, selalu ada cerita jenaka yang mengisi disela-sela keributan mereka.

“Ternyata kalian ini di mana aja masih suka ribut, ya? Berarti nggak beda jauhlah kalau gue cekcok sama Mas Aken, Caka sama Kula,” terang Jalu, ia lantas menolehkan pandangan ke belakang di mana letak pintu cokelat kayu. “Tuh si Caka ada di ruang keluarga, lo berdua masuk aja. Gue mau pergi ke depan dulu, ada beberapa barang yang perlu gue beli sebelum flight soalnya.”

“Loh lo jadi flight malam ini, Bang?” tanya Djo, seraya mengusap bibirnya yang habis dijepit oleh Aru. “Gue kira flight lo di-reschedule jadi minggu depan, soalnya kemarin Caka bilang gitu.”

“Rencana awalnya emang gitu, tapi berhubung di Jepang ada yang urgent, akhirnya nggak jadi gue reschedule,” jelas Jalu, sambil merogoh kunci motor di dalam saku.

“Ah pantesan, tadi Caka bilang kalau malem nggak bisa ngerjain tugasnya, jadi nyuruh ke rumah sore aja,” kata Djo.

“Sori ya kalau ngerusak rencana kalian.”

Satu kibasan tangan sudah Djo berikan. “Halah, kek sama siapa aja, tapi udah lo siapin sogokan buat gue kan, Bang?”

“Telek!” Dua pemuda kelahiran beda provinsi itu langsung tertawa bersama. “Noh, ambil sendiri di kulkas, masih ada J.CO selusin sama dua botol Butterscotch seliteran.”

“Yang bener lo, Bang?”

“Ya kalau nggak dihabisin Caka.”

“Kenapa baru bilang sekarang?!” Pemuda Weltevreden itu langsung berlari ke arah ambang pintu. Namun, sebelum raga Djo masuk ke rumah, kepalanya menyembul lagi. “And by the way, thanks, Bang! Have a safe flight to Japan ye!

“Iye, dah sana habisin.”

Baru juga pemuda Adibrata itu mengalihkan pandangan dari Djo, Aru tiba-tiba ikut bersuara. “Di Jepang hati-hati ya, Mas—eh maksud Aru, Kak.” Walau untuk kesekian kalinya gadis itu salah sapaan, sabit tipis sudah terlukis di wajah.

Jalu lantas mengulum senyuman. “Makasih ya, Cantik.”

Halah!

Cantik lagi! Cantik lagi! Lutut gadis itu rasanya mau lepas dari tempatnya mendengar kata itu tadi.

Asal kau tahu saja ya, Jakarta!

Begitu mendengar Jalu memberi pujian tadi, kalau sesuai dengan prediksi, senyuman dari wajah Aru tidak akan luntur sampai satu bulan ke depan sejak hari ini. Namun, berhubung Djo sering merusak kesenangan hati, jadi kemungkinan hanya akan bertahan selama satu minggu lagi.

“Dah sana lo nyusul si Djo. Gue mau ke depan dulu.”

Ketika pemuda Adibrata tersebut sudah berjalan menjauh dari Aru, bukannya lekas menurut dengan perintah Jalu, justru gadis Weltevreden tersebut memalingkan badan untuk menyaksikan raga milik Jalu. Ia lihat bagaimana gagahnya pemuda tersebut menaiki sepeda motor 250cc-nya itu.

“Oh iya, Aru?”

“Iya, kenapa, Kak?”

“Panggil Mas aja nggak papa, atau panggil apa aja senyaman lo sama gue, ya.” Pemuda dengan hoodie biru muda itu lantas memakai helmnya, dan kendaraan itu keluar dari garasi kediaman Adibrata.

Sambil mengulum senyuman, Aru berdecak cukup girang. “Sial! Kenapa jadi tambah cakep banget, sih?!”

“Cakep?” Belum ada embusan angin yang datang, tetapi tiba-tiba pemuda Adibrata yang lainnya sudah berdiri di belakang. “Siapa yang lo bilang cakep?”

Mampus!

Gadis Weltevreden itu pun langsung berkilah, ia palingkan wajah ke arah tanaman di halaman rumah. “I-itu bunga mawar lo cakep banget, Ka.”

“Mawar-mawar, itu camellia anjir,” ejek Caka.

Sialan!

Kelopak mata Aru langsung terpejam begitu rapat saat itu juga. Gadis Weltevreden tersebut sepertinya memang tidak pandai kalau disuruh mengelabui seorang Caka. Pemuda dengan kaus hitam tanpa lengan itu seperti punya indra penciuman yang tajamnya luar biasa.

“Dah nggak usah basa-basi lagi,” sahut pemuda Adibrata, kedua tangannya sudah terlipat di depan dada. “Udah sering gue peringatin sama lo, ya. Nggak usah ada rencana buat suka apalagi jatuh cinta sama cowok punya orang.”

Pyar!

Kenapa tiga kata terakhir itu harus diperjelas lagi?!

Iya Aru tahu kalau kakak keduanya Caka itu sudah punya kekasih hati, tapi kenapa harus dijabarkan lagi di saat seperti ini?! Berubah sudah suasana hati gadis Weltevreden. Senyuman yang diprediksi bisa bertahan semingguan, tiba-tiba belum genap satu hari sudah menghilang.

Memang Djo sama Caka itu sama; sama-sama hobi menghilangkan kesenangan Aru saja.

Sebelum pemuda Adibrata itu masuk ke rumah, ia menolehkan kepalanya kembali. “Daripada nanti lo cuma kecewa, dan hasilnya sedih nggak ada habisnya. Mending pacarin aja itu musuh lo yang cakep,” ucap Cakap sambil memainkan alisnya naik turun.

“Berisik!”

Sambil ketawa renyah Caka sudah menghilang ke dalam rumah. Sementara itu selang beberapa saat setelahnya Djo kembali ke ambang pintu dengan wajah sedikit resah.

“Wahai sayangku cintaku, lo bisa cepetan masuk nggak?! Macbook gue di tas lo ya anying.”

“Dih, sayangku cintaku, tai!” cibir Aru, walau menggerutu dan memanyunkan bibirnya itu, dengan gerakan malas ia berjalan mendekat ke arah pintu.

“Lebih cepet lagi bisa nggak?!”

“Iya ndoro agung sayangku cintaku!” teriak Aru kesal.

Caka yang mendengar keributan dari si kembar langsung menggelengkan kepala. “Kumat lagi mereka gendengnya!”

Baru juga Aru berhasil menyerahkan ranselnya pada sang kembaran, ponsel gadis itu sudah bergetar digenggaman. Sambil masuk ke dalam mengikuti ke mana Djo berjalan, ia angkat panggilan.

“Kenapa?”

“Barusan gue denger, katanya lo jadi berangkat ke Jogja sama Djo?”

Sudah Aru duga sebelumnya, kalau kabar keberangkatan dia akan sampai ke telinga Nami mengalahkan kecepatan surat kabar harian Jakarta. Padahal baru tadi siang gadis Weltevreden itu memutuskan, toh tidak masalah kalau Djo saja yang menemani dia selama kegiatan liburan.

“Emangnya kalau gue ngajak Caka, boleh?” goda Aru.

“Oh, udah lupa rasa ya sama Masnya Caka?”

Sekakmat!

Padahal gadis itu tidak sedang main catur astaga!

Bisa-bisanya lagi Jakarta malah membuat agenda ber-canda dengannya. Padahal baru juga Aru ingin mengusili sahabatnya, kenapa malah jadi dia yang dijahili semesta?

“Setan!” semprot Aru, ia sudah masuk dan duduk di ruang keluarga Adibrata.

Di dalam sudah ada Djo dengan AirPods Max yang menyumbat telinga, donat di tangan kanan sang pemuda, dan kesibukan mata yang menatap layar benda berengsel warna peraknya. Sementara Caka baru saja keluar ke arah dapur, mungkin mengambil minuman untuk mereka.

“Gara-gara lo nggak jadi nemenin, gue jadinya berangkat sama ini manusia sedeng, ya,” lanjut Aru, sudah menyipitkan pandangan pada kembarannya.

“Hahaha, sori banget, ya. Lo tahu sendirikan kalau Bokap udah bilang enggak boleh?” ucap Nami, ada nada kecewa yang Aru pahami kalau temannya itu tidak baik-baik saja.

“Tapi lo beneran nggak papa, kan?”

“Nggak papa anjir. Kayak nggak kenal keluarga gue aja.”

“Beneran?”

“Sumpah ya ini anak!” decak Nami agak berseru saking geregetannya dia. “Gue nggak papa, oke?”

“Ya udah.”

“Gue sampai lupakan, ngomong-ngomong soal manusia sedeng lo itu. Sedeng-sedeng begitu walau sering ngajak lo ribut sampai jahil nyembunyiin lip balm lo, itu kembaran lo perhatian banget ya anjir. Mana udah cakep, pinter, jago masak, mahir gitaran, serba bisa lagi orangnya. Cepetan bersyukur sekarang nggak lo!”

Ponsel itu sudah Aru jauhkan sedikit dari telinga. Sialan, sore-sore begini kenapa dia malah jadi mendapat ceramah bertema keluarga? Tapi tunggu sebentar, kenapa Nami bisa sehafal itu sama kembarannya?

“Jangan-jangan iya, lo beneran naksir sama Djo ya anjir?!”

Panggilan telepon tersebut mendadak hening karena masih belum mendapatkan jawaban. Manusia dipanggilan sudah membungkam, tidak menyangka kalau gadis Sal Nami Abiela itu bisa ketahuan.

“Demi apa beneran!” Tubuh Aru yang tadinya menyandar pada sofa langsung menegak seketika. “Nyebut sekarang nggak lo! Nyebut cepetan!”

Terdengar suara tawa yang kecil dari sambungan telepon mereka. “Kampret, berasa lagi naksir setankah gue? Toh gue naksir kembaran lo waktu pas SMP, gara-gara dia sepeduli itu jagain lo ya anjir. Akhirnya tertipu dayalah gue sama pesonanya dulu, tapi awas aja ya lo kalau ngadu ke Djo!”

“Nggak tertolong dah selera ini anak buset.”

“Sialan!”

“Tapi kalau sekarang?”

Begitu ditodong dengan pertanyaan mematikan tersebut, mau tak mau Nami langsung menyahut. “No comment, thank you, next question please!”

Suara tawa dari Aru lantas mengudara, tidak menyangka saja kalau ternyata seganjil ini cerita pertemanan mereka. Bisa-bisanya lagi gadis Weltevreden itu baru menyadarinya setelah mereka menginjak SMA. Dia kira hanya salah sangka saja tebakannya, ternyata seajaib ini kisah mereka.

“Puas banget keknya lo ngetawain gue.”

“Nggak ekspek anjir kalau dulu ternyata selera lo itu Djo, padahal jamet banget dia waktu SMP,” balas Aru masih dengan tawa renyahnya. “Tapi kalau sekarang udah cakep kok, Nam. Aman kalau diajak jalan.”

“Heh!”

Suara tawa dari Aru semakin mengudara.

“Kalau tahu musuh bebuyutan lo juga ikut festival sama kayak lo di Jogja, pasti ketawa lo langsung berhenti.”

Dan benar saja, tanpa menunggu lagi Aru langsung terdiam di sofa. “Yang bener aja lo anjir?!”

“Benerlah,” celetuk Nami, beberapa jeda ia kembali melanjutkan perkataannya. “Kayaknya firasat gue yang satu ini juga valid. Itu orang beneran naksir lo dah, di mana-mana ada lo, di situ juga ada dia.”

“Diem nggak lo! Nggak Caka, nggak lo juga. Jodohkah lo berdua jadi dukun, hah?” Suara tawa itu kini yang mengalir dari bibir Nami. Giliran gadis itu yang menertawakan kisah si gadis Aruna. “Kampret, sore-sore begini jadi kepikiran gue. Yakali dia naksir sama gue? Dendam kesumat mah iya! Cepet tarik lagi nggak ucapan lo barusan!”

“Hahaha, kalau tebakan gue sampai bener, please buy me Tuku ora Fore for a month, ya!”

Gadis Weltevreden itu langsung mendengkus kesal, yang tadinya mau berniat menyanggah perkataan Nami jadi Aru urungkan. Malahan dengan iseng Aru jadi memiliki satu ide menyenangkan, ia tolehkan pandangan pada kembaran.

Djo yang ditatap ganjil tanpa henti lantas menjauhkan sedikit AirPods Max sebelah kirinya dari telinga. “Kenapa?”

“Mau minta tolong dong.”

“Apa?”

“Beliin Nami kopi dong, Bos,” ujar Aru, tepat selepas pengeras suara dipanggilan ponsel itu menyala.

“Heh jangan ngadi-ngadi ya lo anjir!”

Mendengar gejolak emosi disambungan telepon Nami dan kembarannya, membuat atensi pemuda Weltevreden itu langsung beranjak dari tempat duduk dia. Ia sandarkan tubuh itu di sebelah kembarannya, bahkan ponsel Aru sudah berpindah ke telapak tangan sang pemuda.

“Mau kopi apa, Nam?”

Paniklah sang gadis Abiela disambungan telepon karena mendengar suara Djo. “Eh, enggak kok, Djo! Lo lagi dikerjain aja itu sama Aru.”

“Nggak papa, lo mau kopi apa, Nam?” tawar Djo, ada senyuman kecil terselip di sana. “Kopi tetangga… apa kita berumah tangga sekalian aja?”

“Telek!” umpat Aru begitu mendengarkannya, ponsel itu pun lantas kembali ia rebut dari tangan Djo. “Lo jangan nyengir-nyengir sendiri gara-gara kesenengan ya anjir! Sadar, Nam! Lo baru dikadalin Djomas Bumi Weltevreden!”

“Aru kampret! Gue tutup juga ya ini telponnya.”

Begitu sambungan telepon itu diputus oleh gadis Abiela. Tiba-tiba Caka datang membawa sebuah nampan berisi beberapa gelas dan sesuai dugaan Aru sebelumnya. Sebotol Butterscotch siap menjamu kehadiran mereka.

“Lo berdua heboh amat habis nelpon siapa barusan?”

Djo dengan jahilnya langsung tersenyum. “Mantan lo.”

“Tai!” umpat Caka.

Di antara tawa yang mengisi ruang keluarga, dan Caka yang agak kesal setengah raga. Tiba-tiba Aru jadi teringat sesuatu di kepala. “Oh ya, Ka. Gue tadi malah lupa buat tanya. Mas lo ke Jepang mau liburan, ya?”

“Enggak.”

“Lah terus?”

“Nyusul ceweknya.”

 

**

Bagi teman-teman yang sekiranya ingin membaca kelanjutan dari cerita Aru, Djo, Jalu, Nami, Caka dan Briel secara utuh, bisa menekan gambar BUY NOW atau klik pranala E-BOOK di bawah ini.

Pranala: ✦ Beraksara 03: Simfoni Satu Notasi

Terima kasih sudah turut andil dalam menjaga keberlangsungan rumah kecil navanera di masa depan supaya terus terjaga.

error: Content is protected !!