Polesan #03 • Puan dan Delikat Pertemuan
“Jogja adalah sebuah peluk dari pulang dan doa kerinduan.”
Dari kata pertama sampai jatuh di ujung klausa. Sebuah garis lurus yang terlukis sederhana di bawah hidung, tiba-tiba terangkat kedua sudutnya. Di sana, sudah ada sebuah kurva yang terbuka ke atas dengan warna bahagia, pun juga dengan netra hitam tintanya, ada sebuah binar berkaca yang terpulas di sana.
Yogyakarta memang seperti ini ternyata, melalui sihir mantra-mantra tak kasatmata dari rajutan sajak yang tertulis begitu besar di papan wisata… ia mampu menyihir senyuman kecil di air muka.
Apa memang semagis itu sebuah kata-kata ketika bersenyawa?
Dari lantai ketiga sisi timur lahan pakiran Abu Bakar Ali; dari tempat di mana kini ia bisa memandang bulan dan bintang dalam satu garis sejajar yang serasi. Pemuda dengan kacamata tersebut langsung menyakukan kedua tangannya ke dalam saku hoodie.
Sudah berjalan satu minggu lamanya, dan Lanang masih tak percaya, jika raganya… kini benar-benar pulang kepangkuan Yogyakarta.
“Tempat ini, kadang memang jadi sesedih itu,” ujar Langit, menyela. Dari kejauhan laki-laki bertubuh jangkung itu mendekatkan raganya.
Sang pemuda Nabastala yang setengah melamum tersebut lantas menolehkan sedikit kepala, mata berkacanya masih jelas terlukis di sudut netra. “Kamu sering ke tempat kesukaannya Jengga ini?”
Yang lebih muda menganggukkan sedikit kepala. “Langit juga nggak tahu, kenapa Abu Bakar Ali jadi salah satu tempat kesukaannya Mas Jengga.” Begitu tubuhnya sampai, Langit palingkan muka dari manusia yang lebih tua ke arah sisi timur laut wajah jalanan kota di bawah sana. “Tapi… ketika Langit kangen Mas Jengga, tempat ini bisa jadi obatnya.”
Yang terlahir menjadi manusia memiliki perasaan nan serupa. Adakala sedih akan menggumpal di ujung mata. Ada saatnya juga pedih akan melingkar di setiap bait dalam cerita. Lanang yang mulai memahami perasaan adiknya, langsung merengkuh raga itu dan luka tak kasatmata.
Langit yang dipeluk pun tak kuasa menahan embun di kedua mata. Dekapan hangat ini terasa begitu nyata dirasa. Ia bahkan masih tak percaya juga, jika satu minggu lalu ia bisa bertemu lagi dengan kembaran kakaknya. Padahal, sudah puluhan tahun mereka menganggap kalau Lanang sudah tiada.
Namun terkadang, setak terduga ini alam raya dan segala rencana.
“Mas Lanang?”
“Kenapa?”
“Jangan tinggalin Langit juga, ya?” Bibir tipis itu gemetar ketika sepatah permintaan tercuap dari si bungsu.
Lanang terdiam sejeda dipijakan. Hingga ketika pelukan mereka mulai meregang, kepala sang Nabastala itu lantas menatap lekat manusia di depan. Kini yang dapat Lanang lihat: Seorang anak muda yang tingginya—hampir sejajar dengan dia, lengkap dengan seraut wajah penuh luka di kedua mata.
“Natra—Langit—Engabehi…,” ucap Lanang, senyum kecil itu terpulas ketika ia mengeja nama lengkap adiknya. Lalu pandangan yang lebih tua berpaling lagi ke arah papan wisata tadi di depan mereka. “Seperti ketika kita membaca buku. Ada waktu di mana kita bertemu dengan halaman satu. Ada pula nanti kita bersua dengan tanda baca… yang menjadi penutup dari cerita. Bukankah setiap pertemuan selalu diiringi perpisahan?”
“Mas Lanang benar. Cepat atau lambat, perpisahan seperti bayangan yang akan mengikuti kita.” Luruh itu jatuh ke wajah si bungsu dari mata, dan tiba-tiba saja Langit rengkuh tubuh pemuda yang lebih tua. Sebuah isakan sudah terdengar di ruang telinga. “Walau suara Langit ini sering sumbang, Mas Lanang jangan bosan dengar ketawanya Langit, ya? Jangan cepat-cepat pergi dari Langit.”
Seperti sebuah suara kecil yang jatuh di ruang sukma. Lanang yang mendengar permintaan adiknya, kini jadi ikut meneteskan air mata. Dengan segala harap ia balas dekapan itu sehangatnya; sebagaimana sinar surya menyelimuti setiap kasih kepada sang butala.
“Kamu nggak malu apa, segede gini nangis dilihatin anak kecil yang minum susu di bawah sana?” Pemuda berkacamata itu berujar, walau menahan suara isakan.
Langit lantas menunduk, kedua tangan mulai menyeka matanya yang basah seraya melihat kembali ke arah jalanan bawah. “Nggak papa sekali-kali nangis, tandanya Langit masih jadi manusia.”
Walau perkataan adiknya membuat Lanang sedikit tak percaya, ia tetap mengulas kecil senyumannya. “Kamu dapat kata-kata itu dari siapa?”
“Mas Jengga,” jawab Langit, masih tertuju ke arah gadis yang minum susu kotak di bawah sana. Sedangkan Lanang lagi-lagi kembali melukis sabit bibir lalu mengikuti arah pandangan Langit. “Kalau lihat susu kotak, jadi keinget Mas Jengga lagi.”
“Ah, jadi itu… minuman kesukaannya, Jengga?”
“Bukan.” Langit semakin menyenderkan tubuhnya ke sisi pagar pembatas. Raganya sudah ia topangkan pada berat beban pagar, lengkap dengan tangan yang bertengger. “Minuman itu kesukaan kesayangannya Mas Jengga.”
“Kesayangannya Jengga?”
“Mbak Lintang.”
Mendengar satu nama terucap, kepala pemuda Nabastala itu menoleh ke arah Langit dengan cepat. Namun, beberapa detik setelahnya ia kembali menenggok ke arah gadis kecil yang membawa susu cokelat.
Iya, sebuah susu cokelat dan dingin yang memikat.
“Kalau Mas Lanang tahu, Mas Jengga itu bukan tipe orang yang mudah marah, tapi, dia bakalan kesel kalau stok Ultramilk di lemari es sengaja Langit ambil satu-satu,” kekeh Langit, kalimatnya memang sederhana, tetapi mampu membangkitkan daya ingat yang penuh luka di kepala. “Rasanya baru kemarin Langit dijewer Mas Jengga. Baru kemarin kita berantem gara-gara susu cokelat di atas meja. Kenapa, ya? Kenapa secepat ini Tuhan mengambil Mas Jengga dari kita? Apa Tuhan nggak percaya ya kita bisa membuat Mas Jengga bahagia?”
Kedua netra pemuda enam belas tahun itu dihampiri lagi oleh kabut tebal dengan bibir yang gemetar. Perasaan membiru itu akhirnya kembali datang mengoyak jantung hatinya yang menggelitar.
Lanang yang berdiri di sebelah adiknya berusaha mengangkat lagi sudut bibir dia. Meskipun begitu sulit untuk dilakukan nyatanya, Lanang tetap rengkuh tubuh yang lebih muda dengan lengannya.
“Kadang aku masih nggak percaya juga, ternyata aku punya adik yang hatinya setabah kemarau menanti hujannya.”
Yang lebih tua mengulas sedikit tawa. Sedangkan tubuh mereka kembali meregang seketika. Jemari-jemari Lanang akhirnya mengusap bening yang luruh di bawah mata adiknya. Sedangkan yang lebih muda justru menatap lekat wajah orang di depan dia.
“Kenapa?” tanya Lanang.
Tak ada jawaban di sana, sampai tiba waktunya Langit justru meraih kacamata yang bertengger di pangkal hidung kakaknya. “Kalau lepas kacamatanya begini… Mas Lanang benaran semirip itu sama Mas Jengga.”
Mendengar ucapan Langit, kurva bibir itu kembali terbuka. Telapak tangannya mengacak kepala yang muda. “Mirip gantengnya, kan?”
Walau terlihat agak kesal, Langit tetap menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. “Kalau bukan fakta, mungkin udah Langit tendang rasanya.” Kacamata itu langsung dilempar Langit sembarang ke arah Lanang. “Terus gimana? Jadi, lusa Mas Lanang balik ke Stanford?”
“Mungkin?” Sambil tertawa kecil, satu lengan Lanang merangkul bahu adiknya. “Padahal tadinya, sih, masih ada waktu sekitar satu minggu lagi buat di sini, tapi—”
“Mbak Lintang nggak mau, ya?” potong si bungsu.
Kepala Lanang lantas menoleh gesit. “Mungkin Jakarta masih sibuk menahannya? Atau mungkin juga memang belum waktunya? Aku juga nggak mau memaksa seseorang yang hatinya terluka untuk mengingat lagi lukanya.” Lanang langsung merogoh sebuah benda dari dalam saku celana. Ia pandangi benda pipih berwarna perak di sana. “Mungkin pesan suara ini, belum saatnya untuk bercerita sama dia?”
Pandangan pemuda Nabastala kini mulai jatuh pada barisan kereta kuda berbadan baja yang melintasi rel di bawah tempat mereka berada. Ia jadi ingat, ketika beberapa hari lalu ia tak sengaja menemukan sebuah iPod yang berisi beberapa potongan monolog suara pendek di kamar Jengga. Setelah coba Lanang mendengarnya. Satu kalimat berbaris di telinga.
“Ini tentang bagaimana jingganya angkasa, menyukai salah satu bintangnya milik alam semesta.”
Iya, iPod itu ternyata tentang kisah Jengga dan salah satu manusia yang mengisi jiwanya. Sejak saat itu, Lanang cukup penasaran dengan cerita Jengga di balik setiap rekaman suara. Hingga tiga hari hari lalu, ia mengirim pesan kepala bintang alam semestanya Jengga. Namun ternyata, tak ada jawaban dari pesannya.
Jakarta kota sepertinya benar-benar menahan gadis itu.
“Aku jadi sedikit ngerti kenapa Jengga suka dengan tempat ini,” ucap Lanang, begitu barisan gerbong besi itu mulai menghilang perlahan dari kejauhan. Langit yang mendengar hanya menolehkan pandangan. “Karena dari tempat ini, kita bisa melihat hal sederhana tentang dunia. Tentang kedatangan yang disambut juga perpisahan.”
**
“Kamu beneran nggak mau cari pacar?” goda Lanang tiba-tiba, seraya melanjutkan langkah pemuda itu menolehkan pandang ke arah Langit yang berjalan di sebelahnya.
Sambil menyakukan ponsel, Langit menjawab, “Enggak.”
“Kenapa?”
“Buang-buang uang.”
Mendengar jawaban dari Langit, hampir saja pemuda berkacamata itu terbahak di pinggir jalan raya. Mungkin ini memang terlihat sedikit agak gila, bahkan terdengar naif juga. Akan tetapi Lanang justru suka dengan cara bicara Langit yang sejujur ini pada dia. Adiknya ini memang penuh dengan kejutan yang tak terduga.
“Tapi kamu mau tahu nggak, Langit?”
“Nggak mau tahu.”
“Yakin?”
“Nggak penting kayaknya.”
Bola mata Lanang langsung menyipit ke arah adiknya. Ia piting leher Langit di sana. “Dengerin nih, ya, anak bandel. Mungkin sekarang terdengar nggak penting, tapi nanti, akan ada suatu hari… di mana prinsip yang pernah kita pegang sepenuh hati. Ia berjalan di luar kendali.”
Langkah Langit lantas berhenti, tetapi bukan karena ucapan Lanang tadi. Namun, karena di depan pagar rumahnya kini ia melihat seseorang tengah berdiam diri.
“Kenapa berhenti?” tanya Lanang, ia lantas mengalihkan pandangan ke arah di mana Langit melihat. “Kamu lihat sia—pa.”
“Mungkin Mas Lanang benar, ada beberapa rencana yang berjalan di luar kuasa kita,” gumam Langit, pemuda berkemeja biru tua itu tersenyum kecil. “Sepertinya, Jogja yang akan menahan Mas Lanang lebih lama.”
Di depan pagar cokelat muda, kini ada seorang gadis berambut sebahu berdiam diri di samping koper hitamnya. Gadis yang pandangannya tengah menerka angan di dalam sana, mata yang tertuju ke arah di mana sebuah jendela milik Narajengga.
Dari bahasa tubuhnya, gadis itu tampak menatap hampa, napasnya seperti ditahan banyak tanya.
“Aku kembali ke kota ini untuk mengenangmu,” gumam sang gadis. “Mengenang kita yang dulu pernah bertemu bahagia dalam satu garis waktu. Narajengga, sehangat apa di sana Tuhan memelukmu? Aku rindu.”
“Mbak Lintang?” panggil Langit.
Bersama dengan angin yang menari di antara rambut dan wajahnya. Yang mempunyai nama akhirnya menolehkan kepala, tepat ke arah dua pemuda yang kini berdiri agak jauh darinya.
Untuk kali pertama, di antara malam dan temaramnya jingga lampu kota. Lanang melihat dengan netranya, bagaimana dua binar mata yang begitu menakjubkan bagi Narajengga; mata yang mampu menjangkau segala luka cerita. Ia ada di sana.
Seorang perempuan dan lembutnya sebuah pertemuan.
Dentuman itu akhirnya terdengar lagi dari sanubari. Ada sebuah pintu lama yang sudah tertutup rapat berulang kali. Namun malam ini, lubuk hati itu mulai terketuk kembali.
Dari satu tapak, demi tapak yang lainnya. Seperti magnet yang memiliki mantra menarik benda-benda di sekitarnya. Lintang mulai mendekatkan langkah ke arah sumber suara. Genap dengan kabut yang kini mulai melebat di kedua mata.
Sekarang gadis Pawening itu mulai mengerti. Seberapa jauh hatinya hendak memutuskan ikatan ini pergi. Semakin erat pula semesta ingin menjalinnya kembali.
“Narajengga?” Satu nama itu terucap parau dari bibir tipis Lintang, lengkap dengan satu tangan yang kini sudah menyentuh pipi kiri milik Lanang.
Jadi, gadis ini yang berhasil mencuri semestamu, Narajengga?
Pemuda Nabastala itu melepaskan penutup kepala, sedangkan tangan kanannya mengambil kacamata yang bertengger di depan mata. Di bawah sinar jingga penerangan kota. Lanang ambil telapak tangan gadis itu dari sisi wajahnya. Satu sabit sudah terlukis di sudut muka sang pemuda.
“Saya bukan Narajengga, nama saya Lanang Nabastala. Seorang tokoh yang terlambat kedatangannya.”
Visualiasi Latar Ceritera


setelah membaca beberapa bait kalimat kemudian terjeda untuk mempersiapkan hati untuk melanjutkan bait bait kalimat berikutnya
selamat datang, seorang tokoh yang datang terlambat tapi akan tinggal di hati untuk waktu yang lama👏🏻
Good post. I certainly appreciate this website. Continue the good work!
narajengga kini dilanjutkan oleh nabastala