Polesan #04 • Selasa dan Ritual Wagennya

“Aku tak menyesal telah menjatuhkan hatiku kepadanya, meski aku harus melihat raganya dipeluk erat oleh langit dirgantara.”

Suara dari gelombang podcast di dekat wastafel itu membuat seorang gadis dua puluh tahun menghilangkan sabit senyuman. Tak terasa, topik cerita sore ini sedikit mengingatkan Lintang kepada kenangan milik seseorang. Namun, baru saja ia ingin melanjutkan, sebuah panggilan video sudah mengambil alih perhatian. Lintang matikan podcast tadi dan segera mengangkat panggilan.

“Iya, kenapa? Tumben jam segini video call?” ujar Lintang, yang pertama membuka percakapan.

“Kangen.”

“Kangen adalah sebuah kata yang biasanya memiliki makna ingin sekali bertemu—”

“Kamu,” potong sang pemuda di layar.

“Mulaikan. Kamu ngapain video call jam segini, aku lagi sibuk ini?”

“Sibuk ngapain? Kalau sibuk mikirin aku nggak papa, tapi kalau mikirin yang lain, nggak ada, ya!”

Gadis Pawening itu langsung menggelengkan kepala. Tuhan, sejak kapan ya Lintang bisa menjalin hubungan dengan manusia yang dulu saja sedikit kata, kini jadi pandai merayu ala pujangga.

“Libur semester ini, kamu nggak mau pulang ke Jogja?” Seorang pemuda dengan surai hitam kecokelatan dari layar ponsel sudah melanjutkan ucapannya. “Kamu nggak kasihan sama aku yang udah rindu sama bintangnya?”

Lintang yang tengah menyelesaikan cuci piring di wastafel itu sedikit tertawa, wajahnya kembali ia tolehkan ke arah ponsel yang ia letakkan di atas meja. “Kan rindunya bisa ditabung lebih lama. Biar kalau dibuka isinya makin banyak juga.”

“Astaga, jahat ternyata.”

“Baru tahu? Lagian nanggung kalau mau pulang. Besok aku juga mau ke Bandung lihat Mas Kalan. Kemarin aku telpon suaranya serak, pasti itu anak kurang istirahat lagi.”

“Apa aku harus serak dulu, ya, sebelum video call kamu? Biar kamu juga nengokin aku gitu?”

Gadis yang duduk di semester empat itu langsung menyipitkan mata. “Kamu kalau pulang kuliah jangan sering-sering kumpul sama Jatra. Makin lama udah kayak perayu ulung aja.”

Sang pemuda di belahan dunia sana langsung tertawa. Sebelum akhirnya ada panggilan suara yang harus memutus sesi percakapan mereka. “Ya udah, aku tutup dulu, ya? Kakek kayaknya manggil aku tadi. Kamu jangan lupa sering istirahat. Oke?”

“Iya.”

“Dadah Bintangnya Rasi.”

Panggilan singkat video itu terputus seketika. Embusan napas sudah Lintang keluarkan dengan jeda yang lumayan lama. Begitu selesai cucian piringnya, ia kembali ingin memutar podcastnya. Namun, ketika Lintang sudah berjalan ke arah kamarnya, ternyata ada sebuah notifikasi surel yang masuk di sana. Bahkan membuat gadis itu melipat kening kepala.

Dari             : [email protected]

Lima lewat dua puluh, sore yang hening dengan langit murung yang kukuh, saat itu kening Lintang sempat berkerut acuh. “Dari siapa, ya, kok ngirimin video? Nggak ada subjeknya juga.”

Tanpa pikir dua kali Lintang tekan tombol putar video di sana. Namun baru tiga detik menyala, telapak tangan gadis itu seolah kehilangan daya. Ponsel berona kelabu itu terjun bebas ke karpet begitu melihat wajah siapa yang terpampang di dalam video tersebut dengan nyata.

Begitu sedikit sadar diri, Lintang kembali mengambil ponselnya lagi. “Ah, mungkin aku salah lihat. Iya, salah lihat.”

Awalnya ia kira itu hanya sebuah ilusi prasangka, yang kadang duga lebih kejam dari rencana dunia. Ternyata kedua bola mata itu melebar dengan sempurna, ketika fakta memang benar adanya. Wajah dari masa lalu itu benar-benar ada di sana. Sepotong rupa milik putranya angkasa—sedang tersenyum sedikit lalu membuka suara.

“Dari laut yang tenang, atau barangkali mungkin dari sisi gelombang yang pasang. Saya memberanikan diri untuk menyapa, walau saya tahu konsekuensinya, akan ada luka lama yang harus kembali terbuka.

Untuk itu, tolong maafkan saya, ya? Maafkan karena mungkin kamu akan terkejut begitu menerima video saya. Video dengan wajah yang akan mengingatkan kamu dengan siapa.

Sebelumnya, hai!

Nama saya Lanang. Lanang Ing Jagat Nabastala. Yang lebih suka warna hitam daripada putihnya mega; Yang lebih suka naik kereta daripada bersepeda; Yang kebetulannya juga, satu bulan lalu saya baru tahu kalau ternyata saya memiliki saudara serupa.

Sepertinya cukup banyak ya perkenalan saya? Maaf untuk itu.

Mungkin ketika kamu menerima video saya adalah sebuah kesalahan yang nyata, karena mengingatkan kamu pada luka lama. Namun, karena kebetulan kemarin saya menemukan rekaman suara Jengga dan ternyata isi di dalamnya adalah tentang semestanya. Maka saya dihantui banyak tanya, siapakah manusia yang bisa mengisi semestanya Narajengga.

Akhirnya saya coba beranikan, daripada mendapat penyesalan.

Kata Langit, saya bisa menghubungi kamu lewat pesan seluler atau pun alamat surel. Kalau mungkin lewat pesan seluler sepertinya lebih personal, sedangkan saya bukan siapa-siapa, jadi saya bertanya saja lewat alamat surel. Kalau pun nanti tidak membacanya, itu juga tidak apa-apa bagi saya.

Tadinya saya ingin bertanya banyak hal, tapi sekarang saya hanya ingin bertanya satu hal.

Apa kisah saudara saya selama tinggal di buminya… sudah bahagia?

Kalau pun jawaban kamu bahwa Jengga pernah merasa bahagia. Terima kasih banyak, ya. Terima kasih sudah menjadi bagian dari bahagia yang indah untuk saudara saya.

Pemuda Nabastala depan layar itu akhirnya menunjukkan sebuah iPod perak digenggaman tangan kanan.

Di dalam sini, ada rekaman suara miliki Jengga. Yang barangkali, mungkin kamu ingin mendengarkannya. Karena saya tidak lama untuk tinggal di Jogja, jadi saya titipkan benda ini sama Langit, ya, kalau sewaktu-waktu kamu ingin mengambilnya.

Dengan berbicara begini, saya sudah cukup merasa lega.

Sekali lagi, terima kasih sudah menjadi semestanya Narajengga.”

**

“Aku menyukaimu lewat gerbang mantra-mantra mata, tentang bias langit malam Jogjakarta, dan tangan-tangan ajaibnya Malioboro yang sedang jatuh cinta.”

Bibir pemuda berkacamata itu sudah merapalkan kalimat yang baru saja ia dengarkan dari earphone di telinga. Suara Jengga direkaman barusan mampu menembus dinding dunia bawah sadarnya. Hingga pemuda Nabastala yang duduk menghadap ke arah utara, ia tolehkan kepalanya ke sebelah kiri seraya melepas satu sumbatan telinga.

Dari tempatnya duduk di balkon pusat perbelanjaan sebuah kedai donat di lantai dua. Di bawah sana, di antara Jalan Malioboro yang penuh dengan tawa suka cita dan lampu malam sinar jingga. Lanang mulai menyelisik dengan netranya, ingin rasanya ia menemukan jawaban dari apa yang barusan Jengga ucapkan lewat rekaman suara.

“Dulu di sana, mungkin kali pertama aku berbicara ketus dengannya,” ucap Lintang, yang entah sejak kapan gadis berambut sebahu itu berdiri di belakang Lanang. Padahal seingat Lanang, mereka janjian bertemu di kedai donat ini masih seperempat jam lagi dari sekarang.

Kontan saja pemuda Nabastala itu menolehkan kepala ke arah Lintang berada. Gadis berambut sebahu dengan jaket jin itu masih bergeming di tempatnya. Mata cokelat itu masih tertuju ke arah di mana trotoar Malioboro pernah menjadi saksi dari awal sebuah cerita.

“Maaf untuk kejadian kemarin malam.”

Sabit kecil terpulas dari sudut bibir Lanang. “Semirip itu, ya, saya dengan Jengga?” Gadis itu hanya mengemban senyum. “Mau duduk?”

Pandangan Lintang akhirnya beralih ke wajah pemuda yang rupanya mengingatkan dia pada patah hati di hidupnya. Setelah menghela napas panjang, Lintang letakkan tubuhnya duduk di bangku depan Lanang. Sampai akhirnya pandangan Lintang jatuh kembali ke arah Jalanan Malioboro di bawah sana.

“Ada yang istimewa, ya, dari jalan itu?” ujar Lanang, tatapannya mengikuti pandangan Lintang.

“Dari sana, skenario bercanda mengubah awal jatuh cinta.”

**

Pemuda bertopi yang mengalungkan gitar cokelat itu mendekatkan bibirnya ke arah mikrofon di depan. “Semoga… semoga kita dijauhkan dari tangan-tangan kecewa yang membuat hati begitu terluka.”

Sepasang sepatu kumal merah marun yang memijak ubin trotoar kasar tersebut berhenti. Langkah kaki Lintang kini tak mau beranjak pergi, pun ketika suara seorang laki-laki tadi mulai terdengar menelan ramai yang sempat menepi. Hingga akhirnya, kepala gadis berambut sebahu itu menoleh ke arah sumber suara, tepat di seberang jalan yang cukup jauh pada sekumpulan anak muda di bawah sorot lampu jingga.

“Askarweda… Kamar Rindu.”

Bersama sang bayu yang berembus dingin di antara Malioboro dan keramaian, petikan gitar beserta potongan suara mulai berbaris rapi mengisi malam yang kesepian tanpa kehadiran rembulan.

Rangkullah ia wahai semesta

Lenganku kini tak lagi sampai

Setengah aku ada di dia

Harapku di sukmanya

Dari sudut bola matanya, tatapan Lintang terlihat hampa tanpa rasa. Ada ganjil yang entah kini hadir bernama apa, tiba-tiba saja… lalu menyelinap di dalam sana. Seolah ia tengah mengetuk sebuah hati, hingga terpekur seperti raga yang terjebak dalam sebuah lukisan yang mati.

Relungku masih inginkan kamu

Tapi semesta bilang kita akan baik saja

Mengakhiri bait-bait lagu yang kini mulai berhenti. Tak terasa hujan dari bola mata sudah membasahi ladang pada kedua pipi. Entah, entah karena memang lagu itu terlalu mewakili perasaannya, atau mungkin juga, karena anak laki-laki itu yang telah menyanyikannya?

Jajar Rasi Parikesit.

Rasi memang seperti itu, pemuda yang berhasil mencuri perhatian sang malam dan bintang. Pemuda dengan segala teduh rupa, yang diam-diam berhasil mencuri dunia Lintang semenjak dua tahun ke belakang.

Sudut bibir gadis itu terangkat tipis, melukis sebuah kurva senyuman yang begitu manis.

Namun terlepas apa pun alasannya, malam ini lewat tangan tak kasatnya Malioboro; lewat Selasa Wagen di mana jalan ini setiap tiga puluh lima hari sekali dimandikan tanpa kendaraan bermotor; lewat kumpulan anak-anak muda yang mengisi ruang terbuka dengan seni dan budaya, ternyata mampu membuat seorang Lintang Pulung Pawening meneteskan air mata.

Jemari Lintang akhirnya bergerak kembali, ia usap bulir yang sempat jatuh pada pipi.

“Hayo, pasti lagi cuci mata, kan!” sergap Kala tiba-tiba datang, gadis yang memegang sebuah cermin kecil itu bahkan sudah menyapukan pandangan ke arah sekitar. “Mana cogannya? Kan udah sepakat! Kalau Lintang lagi lihat yang bening, bagi-bagi sama Binar! Serakah itu ndak baik, ya!”

Ampun!

Satu kata itu langsung terlontar begitu saja dalam benak Lintang. Tentu saja, gadis berambut sebahu itu sudah merotasikan bola matanya bosan. Sendunya jadi tiba-tiba berubah menjadi kesal. “Udah foto-fotonya? Ayo pulang! Kakiku capek, pengen rebahan di kasur.”

“Dih, masa dewan tonti kita gini aja capek? Nggak malu, Bu, sama pletonnya?” sindir Kala, yang tajamnya melebihi pisau Bu Mira—Ibu Kantin yang jualan soto ayam kesukaan mereka.

“Malu itu… kalau kangen sama pacar punya orang,” sindir Lintang.

“Bener juga ya, Bu! Panjang nanti urusan kalau kangen sama pacar punya orang,” balas Kala, sependapat. “Ya udah deh, kali ini Kala izinin Lintang kangen sama kasur aja.”

Bola mata gadis berambut sebahu itu sekali lagi berotasi malas. Bukan Lintang namanya kalau dia hanya diam saja. Lebih baik, siswi di bangku kelas XI itu mulai berjalan sambil menarik lengan Kala.

“Eh, Lilin!” teriak Kala.

Apalagi sekarang, Yogyakarta?

Baru juga berjalan lima langkah ini, tangan kanan Kala sudah menepuk bahu gadis di sebelahnya bertubi-tubi.

Lagi-lagi Lintang hanya bisa mendengkus kesal. “Apalagi?”

“Itu, itu!” sahut Kala, telunjuknya sudah mengarah pada kumpulan anak muda yang kini berada di sebelah kanan jalan dari mereka. “I-itu… itu ada si anu!”

“A-anu? Anu apa, sih?”

Lintang yang tadi melihat wajah sahabatnya ini kini berganti arah, sepasang kenari itu lalu mengikuti ke mana telunjuk Kala mengarah. Iya, tempat di mana Lintang melihat seseorang yang tadi sempat membuatnya merasa gundah.

Sial, ternyata mereka malah berjalan mendekat ke arah sumber suara tadi. Kenapa juga malah ke sini? Isi kepala Lintang mulai berdemonstrasi.

“Itu ada Mas Rasi, Lintang!” teriak Kala, heboh.

“Dia sepantaran sama kita, Kala, ngapain pakai Mas segala?”

“Biar romantis.”

“Telek.”

“Maklumi aja kenapa, sih, namanya juga jatuh cinta.”

Gadis Pawening itu menghele napas panjangnya.

Semesta, mungkin inilah alasan terbesar sebuah cerita, kenapa si perasa pada akhirnya hanya bisa memendam tanpa bisa mengutarakan. Perkara menyukai seseorang, memang terkadang menyulitkan, apalagi ternyata yang dia suka adalah gebetan dari sahabatnya.

Perkara cinta, lebih rumit dari sekadar trigonometri matematika.

“Sebel, kenapa aku nggak tahu kalau Mas Rasi nyanyi di sini?” gerut Kala, tak tahu tempat. “Itu kenapa pakai acara ganteng banget lagi?! Ya ampun, Mas. Tolong gantengnaya biasa aja, nanti sainganku tambah banyak ini!”

Lintang yang mendengar ocehan Kala hanya menaikan sudut bibirnya sedikit. Mungkin karena kini hatinya jadi tambah dilanda pelik. Ya sudahlah, lagi pula gadis Pawening itu tidak berminat untuk menjalih sebuah hubungan juga, sekadar menaruh rasa kagum dan suka sudah cukup baginya.

“Eh, Lin! Kalau itu bukannya Mas kamu, ya?” seru Kala, membuat Lintang kebingungan. “Kok Mas kamu deket sama Mas Rasi juga?”

“Masku?” tanya Lintang melipat dahi. “Siapa Masku?”

“Itu ada, Kalan!”

Posisi bahu milik Lintang langsung turun sedikit ke bawah. “Udah berapa kali aku bilang. Dia bukan Masku, Kala, ngerti?”

“Hilih! Bentar lagi kan kalian juga bakal jadi saudara, nggak papa kali ngebiasain manggil Mas. Lagian dia juga lebih tua dari Lintang.”

Perkataan Kala barusan lagi-lagi mengingatkan gadis itu pada sebuah kegiatan di minggu depan. Sebuah mimpi buruk yang benar-benar ingin Lintang hapus dari kalender kehidupan.

“Eh, eh, eh! Ternyata ada Mas Ganteng Kita juga di sana!”

“Mas Ganteng Kita siapa lagi?!”

Eh, sebentar, apa tadi?

Lintang tolehkan kembali pandangan. Dua detik, menyesal sudah Lintang mengikuti ke mana arah Kala memandang.

Mungkin melihat Rasi adalah sebuah pekerjaan yang tanpa dibayar pun Lintang mau melakukannya. Namun, begitu dia melihat seorang pemuda berpostur tinggi hampir menyentuh enam kaki berjalan mendekat ke arah Rasi dan temannya.

Benar-benar menjadi kesialan yang nyata.

Pemuda dengan kaus putih yang dibalut sepatu senada, lengkap dengan tangan yang masuk ke dalam saku celana, em, sebenarnya Lintang tidak mau mengakui, tapi baiklah, pemuda itu memang sedikit menyilaukan sepasang matanya malam ini.

Tanpa diperkenalkan, mungkin semua barisan anak perempuan di SMA Nagara juga paham. Siapa nama pemilik tubuh dengan rupa di atas rata-rata tersebut, kalau bukan….

Narajengga Alugara.

Eh, tunggu, kenapa juga Lintang harus hafal nama lengkapnya begini? Pasti semua gara-gara sering dengerin Kala ngoceh ini!

Gadis berambut sebahu itu langsung menggelengkan kepala. Membuang semua pikirannya tentang Narajengga, tapi sialnya malah susah ternyata.

“Lin, ayo dong temenin Kala ke temu calon Mas Pacar?”

Aduh, Sahabat!

Demi kura-kura berevolusi punya sayap merpati. Daripada Lintang harus bertemu mereka, sudah pasti gadis itu akan berlari sekuat kuda mendua katak. Atau kalau tidak dia ingin bersembunyi atau tenggelam ke palung Mariana saja.

Apa pun, asal menjauh dari mereka.

“Ayo dong temenin!”

Belum sempat Kala menarik dan melangkahkan tungkainya pergi. Lintang langsung menahan lengan gadis itu. “Nggak ada ya, Ancala Binar Janardana! Nggak ada!” sergap Lintang, tegas. “Udah aku mau pulang! Udah kangen kasur ini.”

Kini giliran Kala yang menggeleng. “Mana ada kasur lebih penting dari Mas-mas Ganteng,” ucap Binar. “Kala jadi heran. Lintang nggak kena penyakit alergi cogan, kan?”

Pletak.

Setelah berhasil menyentil dahi sahabatnya dengan jemari. Tanpa menunggu Kala berujar lagi, Lintang sudah mengayunkan tungkainya beranjak pergi. Sedangkan kini Kala mulai mendengkus lagi, tentu dengan tangan yang masih sibuk mengusap keningnya tanpa henti.

“Haish… itu anak kebiasaan deh. Nenek Lilin!” teriak Kala, yang tak diindahkan oleh Lintang di depannya. “Ih, Lintang Pawening, tungguin Kala dong!”

Satu gelombang suara berisi muatan sebuah nama tersebut membuat sepasang mata hitam memalingkan pandangan. Kini laki-laki dengan mata menakjubkan itu mulai mencari dari mana arah sumber suara tadi berasal. Dan akhirnya, Jengga menemukannya. Namun, pandangan pemuda itu justru terjatuh pada gadis yang kini berjalan di depan Kala.

Bibirnya terangkat tipis, lengkap dengan senyuman berona manis. Ada garis melengkung ke atas yang terlukis dengan jelas di sudut wajah rupawan miliknya. Sedangkan pandangan sang pemuda tak sedikit pun terlepas dari sosok dia, gadis pemilik mata cokelat terang di sana.

“Ngelihat apaan?” tegur Jatra, yang baru saja datang.

“Lupis.”

“Ini kempret kalau laper, makan, Bapak. Makan! Bukan malan senyam-senyum nggak jelas!”

“Bentar,” balas Jengga, dua detik setelahnya tungkai pemuda itu langsung berlari mejauh dari Rasi, Kalan dan Jatra. “Aku tinggal dulu.”

“Mau ke mana, Kampret?”

“Misi pertama.”

Rasi yang tengah melepas gendongan gitarnya hanya diam memperhatikan Jengga pergi menjauh. Kalan di sebelahnya pun sama hanya diam sambil membersihkan tas kameranya yang sedikit lusuh.

Di sisi lain, pemuda Alugara itu langsung mengambil benda di atas wajah trotoar yang sempat terjatuh tadi. Hingga langkahnya mulai kembali mengayun menghampiri dan berhenti tepat di hadapan dua gadis ini.

Seperti langit yang merestui dua temu dalam satu tatapan waktu. Disihirlah malam itu menjadi selembar lukisan dari cerita yang baru.

Lintang yang tadi berjalan menunduk pun lantas berhenti dan mendongak menatap pemilik sepatu di depannya.

“Boleh, pinjam tangan kamu?”

“Tanganku?” Lintang yang ditanya langsung menolehkan kepala ke kanan dan kirinya. Memastikan pemuda ini benar tengah berbicara padanya. “Pinjam tanganku buat apa?”

“Buat digandeng mau?”

“Lucu!”

“Iya, tahu.”

“Anak kecil di belakang kamu yang lucu!” pungkas Lintang, lalu meninggal sang pemuda bermata hitam tinta. Jengga yang berdiri di tempatnya justru semakin mengukir kurva bahagia.

Lintang yang baru beranjak dua langkah ini, kakinya tiba-tiba berhenti ketika mendengar pemuda itu bersuara kembali.

“Untung yang jatuh cuma gelang, coba kalau perasaan, mungkin udah aku pungut lalu kubawa pulang,” ujar Jengga, berjalan mendekat kembali ke arah Lintang, lalu menarik lengan gadis di depannya dan menaruh gelang tiga warna ke telapak tangan.

Gadis Pawening itu terdiam.

Mungkin kalau bukan karena Jengga, ia akan kehilangan gelang kesayangan milik ayahnya.

“Kamu Lintang kan, calon saudaranya Kalan?” ucap Jengga, kepalanya menunduk menyejajarkan pandangan pada Lintang. “Boleh kalau aku titip pesan? Tolong bilang sama Kalan, boleh nggak… calon adeknya ini kalau mau aku sayang?”

2 komentar untuk “Polesan #04 • Tiga Ribu Senja”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

error: Content is protected !!