Polesan #05 • Reaktan dan Alun-Alun Selatan
Membaralah engkau membara
Tersulutlah menjingga
pada jantung sukma
Lintang menghentikan
langkah sepasang sepatu. Sajak yang baru saja dilantunkan penuh bara di telinga
itu menjeda aktivitas raganya hingga berdiri membatu. Ia tolehkan sebentar kepalanya
ke arah lapangan tengah SMA Nagara, sudah ada puluhan anak membentuk setengah
lingkaran yang menonton di bawah selimut rindangnya hijau pepohonan di sana.
Hiduplah engkau
hidup sang tunas bangsa
Hiduplah selalu di
jantung negara
Riuh itu datang dari
puluhan pasang tepukan tangan siswa yang menyaksikan. Ekstrakurikuler berbahasa
sepertinya tengah ramai menyita banyak perhatian. Walau Lintang harus mengakui kalau
hatinya sempat tertegun kagum, tapi perasaan itu tiba-tiba hilang begitu tahu
siapa orang yang berpuisi itu hingga terdengar berdentum.
Duh Bagos Kalantara.
Nama yang seperti
ingin Lintang hapus dari kepala.
Tak ingin membuang
waktu lebih lama, segera gadis Pawening yang duduk di bangku kelas sebelas itu ayunkan
kembali tungkainya. Lorong dinding dengan rona putih gading dan sentuhan bangunan
lama dari zaman kolonial Belanda, sudah melekat menjadi bagian dari cerita anak-anak
SMA Navagraha Djogjakarta, atau masyarakat lebih sering mengenalnya dengan SMA Nagara.
Namun, baru beberapa
langkah sepatu hitam itu menapak wajah pualam, kakinya sudah terhenti karena
mendengar satu seruan suara dari belakang.
“Gimana rasanya?!” sergap
sang gadis dengan nama dada Kahayun Seruni Arum, begitu gadis berambut kuncir
kuda itu telah berhenti di depan Lintang. “Senengkan, sekarang jadi pusat
perhatian satu Nagara?!”
Ibarat hujan yang langit
tuangkan pada wajah butala tanpa aba-aba. Pertanyaan tersebut langsung meluncur
begitu saja dari setangkup bibir Kahyun yang berona merah muda.
Gadis berambut
sebahu dengan dasi dan rok abu-abu di bawah lutut itu hanya termangu sesaat.
Kepalanya sudah menoleh ke sebelah kanan dan kiri dengan singkat. Memastikan
bawah Kahyun—gadis yang kini tengah melipat dua lengannya di depan dada,
lengkap dengan muka masamnya—tengah berbicara, ah ralat, tapi hampir berteriak di
depan wajah dia.
Tunggu sebentar,
kalau diingat-ingat lagi, Lintang jadi terheran juga, sungguh. Sejak dia duduk
di bangku kelas sepuluh, kenapa manusia di depannya ini hobi sekali marah-marah
dengannya tanpa merasa jenuh?
Memangnya salah Lintang
itu sebenarnya apa?
Sampai detik ini,
setelah sekian kali pagi berganti, gadis Pawening itu seperti tengah bermain
sebuah lomba teka-teki, dan jawabannya selalu berujung dengan misteri. Padahal Lintang
tidak pernah berurusan dengan si gadis Seruni.
“Jangan besar kepala
kamu setelah ditembak Narajengga. Ngerti?!” tandas Kahyun, lalu berlalu
meninggalkan Lintang sendirian.
“Itu anak kenapa kumat
lagi aj—”
Perkataan Lintang
langsung tercekat di dalam rongga mulutnya. Tawa kecil yang seharusnya keluar
dari bibir gadis itu kini berubah jadi bisu tiba-tiba. Kepalanya yang tadi
sudah melengos pun langsung menatap Kahyun yang berjalan menjauh sambil tak
percaya.
Tunggu, telinga
Lintang tidak salah dengar, bukan?
Berdiri termenung di
atas petak ubin persegi yang dingin. Lapangan tengah sekolah yang tadi riuh
tiba-tiba terasa hening. Lintang tertegun dengan air muka yang sudah sulit
untuk dijabarkan. Persis ketika nama seorang laki-laki yang tadi Kahyun
ucapkan.
“Ditembak siapa tadi
katanya?!” monolog Lintang, kepala itu sudah menggeleng pelan. “Gendeng!”
Genta yang baru saja
keluar dari ruang guru langsung menaikkan satu alisnya begitu melihat Lintang
yang berdiri termangu. Ia langkahkan tungkainya mendekat ke arah gadis Pawening
itu.
“Heh, Dekil?” ucap
Genta, mengetuk beberapa kali dahi orang di depannya. Persis seperti orang yang
tengah memukul dengan buku jari pada daun pintu. “Ngapain bengong sendirian di
sini, kesurupan?”
Seperti itulah
seorang Genta Aji Saka Bumi. Salah satu manusia menyebalkan seantero jagat pertiwi,
dan kebetulannya lagi, merangkap jabatan sebagai sahabat karibnya Lintang yang
kalau memanggil selalu bukan dengan nama asli. Ya walau Lintang juga tahu diri
kalau kulitnya memang tambah eksotis selepas ditempa proses panjang di atas
bumi dan di bawah terik surya, demi menjadi bagian dari keluarga besar Purna Paskibraka
Indonesia.
Namun kalau dirasa, kulitnya
ini sekarang sudah tidak segelap dan sedekil itu juga. Memang kadang sekali-kali
minta dipukul dengan pantofel itu yang namanya Genta.
“Ngapain itu mata melotot?”
Bola mata Lintang lantas
berotasi malas. “Habis ketemu sama Kahyun tadi,” jawab sang gadis Pawening mencari
alasan. Padahal dalam hati gadis itu sedang merutuk manusia di depan.
“Ah, pantesan mau kesurupan.”
“Tuhkan, memang ini
anak minta ditabok juga lama-lama.”
Genta lukiskan
sedikit kurva di bibir. “Emang dia mau ngapain tadi?”
“Nggak tahu, tiba-tiba
marah terus bilang—”
“Lilin!”
Suara teriakan dari ujung
koridor pun langsung memotong kalimat Lintang dengan cepat. Kontan saja mereka
mengalihkan pandangan pada Kala yang sudah berlari mendekat. Namun, lagi-lagi kelopak
mata gadis Pawening itu lantas menutup dengan rapat. Bisa tidak, satu hari saja
dua manusia ini kalau memanggilnya dengan nama yang akurat?
Yang satu Dekil,
yang satunya lagi manggil Lilin. Kalau saja ada satu lagi manusia yang
memanggil dia dengan sebutan lain, sudah dijadikan saudara atau pacara aja
sekalian.
Eh, enggak!
Kepala itu Lintang
gelengkan.
Dia baru teringat
dengan satu perkataan, kalau ucapan adalah salah satu tangan doa yang tak
sengaja dilantunkan, dan bisa saja langsung kejadian.
Tidak. Lintang tidak
mau menjadi si pahit lidah lagi. Cukup satu kali gadis Pawening itu menyaksikan
dengan matanya sendiri, akibat dari ucapan dia yang pernah menyakiti hati.
“Ka—kalian….” Dengan
deru napas memburu dan tangan berkacak pinggang. Kala berusaha bicara dengan suara
yang berjeda agak panjang. “Ka—kalian… u—udah lihat belum?”
Genta yang berdiri
di sebelah Kala sudah menjadi juru bicara Lintang. “Lihat apaan?”
“I—itu, so—soal Mas
Ganteng!”
Genta yang melihat
tingkah konyol gadis Ancala itu lantas bersuara. “Ngapain ngelihat aku?” Tunjuknya
dengan jari pada diri sendiri.
Satu tabokan pun
langsung melayang dari tangan Kala pada telunjuk pemuda Saka Bumi. “Ganteng-ganteng!
Kamu itu nomor terakhir, ya. Kalau ini Mas Ganteng nomor satunya sejagat SMA Nagara!”
Bola mata Genta
langsung berputar bosan.
Kala tatap air muka
Lintang dengan lamat-lamat. Tidak ada perubahan di sana, berarti gadis Pawening
itu belum melihat. “Pokoknya kalau Lilin jadian sama Jengga, traktir Kala kue
balok sepuasnya!”
Seperti mata petir yang
jatuh ke bumi. Tiba-tiba sambaran halilintar itu menggelegar di antara sekat
kisi-kisi langit sore yang mulai sepi. Lelucon jenaka macam apalagi sekarang
yang engkau tampilkan, Yogyakarta? Belum lelah apa kemarin di Malioboro mengajak
hatnya bercanda?
Kini yang dilakukan
Lintang dan Genta hanya tertawa.
“Kok malah ketawa? Lilin,
kamu ndak jadi sakitkan habis ditembak sama, Mas Ganteng?” Bukannya menanggapi
ucapan Kala. Satu buku paket Kimia di tangan kanan Lintang justru langsung dia
ketukan di kening gadis Ancala. “Ih, sakit tahu dahi Kala. Nanti kalau dahi Kala
benjol, Lintang mau ganti rugi?” gerutu Kala, mengusap keningnya.
“Sana minta ganti
rugi sama Genta.”
“Sini, kuganti pakai
sun bibir, nanti bakal cepet sembuh benjolannya,” kelakar sang pemuda.
Dan lagi-lagi
terjadilah pertempuran di lorong putih gading antara gadis Ancala dan manusia
bernama Genta. Ya bagaimana tidak terjadi perang dunia di setiap sudut SMA
Nagara, kalau biang keladinya saja selalu mencari perkara di antara cerita mereka.
Lintang yang melihat
dua manusia ini bertengkar malah melukis kurva di sudut bibirnya. Kalau dirasa
mungkin yang dikatakan Bu Wikan di kelas tadi ada benarnya. Reaksi dikatakan
setara bila jumlah atom-atom zat-zat pereaksi sama dengan zat-zat hasil reaksi.
Lihat saja di depan matanya ini, di mana reaktan yang berupa serangan gigitan
lengan dan tarikan surai panjang, sudah menghasilkan bekas gigitan dan rambut
yang berantakan.
“Mau sampai kapan
kalian pacaran?”
“Siapa yang
pacaran!” seru Genta dan Kala bersama, mata mereka sudah nyalang menyala.
Lagi-lagi Lintang hanya
menggelengkan kepala melihat tingkah dua sahabatnya. Di mana posisi Genta dan
Kala sudah terlihat berantakan di sana. Di mana Kala ingin berusaha menggigit lagi
lengan sang pemuda, tetapi sudah lebih dulu ditahan oleh tangan Genta dengan menarik
rambut belakang gadis Ancala.
Akhirnya setelah sepakat
melakukan gencatan senjata, dua manusia itu saling melepaskan.
“Dah, ayok sekarang pulang,”
ajak Lintang.
Sambil berkacak
pinggang, Kala sudah lebih dulu menyela. “Mau ke mana?! Kan urusan kue baloknya
Kala belum kelar.”
Jidat itu sudah
Genta tepuk.
Sedangkan Kala yang
melihat langsung berdecih dan menghadap sang pemuda sambil mengulurkan tangan
kanan. Genta yang melihatnya lantas memberi tanggapan. “Ya udah, Genta maafin.”
Telapak tangan yang
tadinya mau dijabat Genta langsung ditepuk begitu keras sama Kala. “Emang siapa
yang mau minta maaf?!”
“Terus mau ngapain
itu tangan?”
“Minta uang.”
“Dih,” cibir Genta,
tetapi tangannya justru sudah merogoh saku kanan dan kiri celana. “Tinggal lima
ribu, mau?”
“Boleh deh, sini buat
tambah jajan kue balok.”
“Ya!”
Akhirnya pekikan
dari suara mantan komandan pleton putri SMA Nagara itu keluar. Membuat dua
manusia di depannya hampir terperanjat gemetar. Sepertinya sudah habis kotak
kesabaran Lintang melihat perdramaan hari ini yang berkobar.
“Ya Tuhan, galak
banget, sih. Iya, iya bentar.” Sambil memanyunkan bibi Kala tolehkan lagi pada
Genta di sampingnya. “Genta pinjem hp. Bateraiku terlanjur habis daya.”
Tanpa menunggu persetujuan
dari Genta. Ponsel dalam saku kemeja pemuda itu pun sudah berganti ke telapak
tangan Kala. Sedangkan gadis itu lansung berselancar di salah satu lini masa dunia
maya.
“Nih, lihat
baik-baik ya kalian berdua!”
Layar empat koma
tujuh inci milik Genta itu sudah menampilkan satu portal dari dunia maya.
Sebuah potongan video langsung terputar dari unggahan milik Jatra. Cukup dengan
durasi lima belas detik. Tiba-tiba dunia milik Lintang dilanda rasa pelik.
Tuhan pasti
bercanda!
Tanpa diberi tahu Yogyakarta
pun paham juga. Layar ponsel itu menampilkan seorang pemuda jangkung dengan
seragam putih basketnya, lengkap dengan keringat yang membasahi air muka tengah
berbincang dengan Jatra. Namun sialnya, video singkat di layar ponsel Genta
justru telah berhasil mencuri di mana letak paru-parunya Lintang berada.
Lintang kira lontaran
candaan di Malioboro sewaktu malam Selasa Wagen itu hanya sebatas lelucon
semata. Kenapa jadi panjang begini urusannya? Rahang bawah gadis Pawening itu bahkan
serasa ingin jatuh dari tempatnya. Benar-benar sulit untuk dipercaya.
“Gimana, masih
kurang jelas?” ucap Kala, memutar sekali lagi video lima belas detik yang
pelik.
“Kalau lemparan bola di tanganmu bisa three point. Mau apa,
Jen?”
“Em… mau bilang sama Lintang Pulung Pawening. Dia mau nggak
ya kalau jadi pacarnya Narajengga?”
Satu buku paket di
tangan gadis itu akhirnya jatuh pada pualam. Tepat selepas satu bola jingga itu
begitu melesat dan masuk ke dalam keranjang.
Namun kau tahu?
Langit itu sering bercanda tidak hanya sekali dalam setiap tatap temu. Karena
seorang anak muda dengan pakaian basketnya tiba-tiba dengan sigap sudah
menangkap satu bandel buku yang jatuh dari tangan Lintang.
“Kemarin itu gelang,
sekarang giliran buku kamu yang jatuh. Kalau hati kamu kapan ya mau jatuh, aku jadi
ingin cepat-cepat menangkapnya, sungguh,” ujar Jengga, ia lantas meletakan buku
paket itu pada tangan Lintang. Sedangkan gadis itu lagi-lagi membatu pada
pijakan. “Kamu kalau lagi bengong begini, kenapa aku jadi semakin suka, ya?”
**
“Serius, dulu Jengga
bilang begitu di Instagram Stories?” tanya Lanang tak percaya begitu mendengar gadis
Pawening bercerita. Bahkan kepala itu sudah menoleh ke arah Lintang yang
berjalan di sebelahnya. “Wah, ternyata dia orangnya segamblang itu, ya?”
“Anaknya memang
begitu. Manusia dengan segala ruang kejutan di dalamnya.” Lintang menjawab,
sambil berjalan pelan serasa menolehkan pandangan didekat Sasana Hinggil. Dari
tempat mereka berjalan sekarang, di bawah sinar rembulan yang menerangi
Alun-Alun Selatan, dan dua beringin yang berdiri tegap di depan, gadis berambut
sebahu itu lantas menolehkan pandangan pada Lanang. “Dia memang punya caranya
sendiri untuk—ak!”
Hampir saja Lintang
terkilir kakinya karena tersandung batu kecil di depan dia. Untung saja Lanang
sudah refleks menahan pinggang belakang gadis itu dengan lengannya.
“Kamu nggak papa?”
Seperti sang bayu yang
menari lembut di antara wajah mereka. Pandangan dua manusia itu akhirnya kembali
bersua dalam satu garis simetris yang sama. Ada sebuah senyawa hangat yang
perlahan berjalan dan mulai mendekat di dalam sukma. Sebuah aliran janggal yang
entah malam itu bernama apa.
Yogyakarta, benar-benar
menyihir mereka dalam satu mantra semesta.
“Lintang, jadi kita pulang
sekarang?”
Tiba-tiba seseorang sudah
menyela, selepas helm itu ia lepas dari kepala. Pemuda Parikesit lantas turun
dari skuter dan menolehkan pandangan ke arah mereka berdua. Lanang dan Lintang
yang merasa ditatap janggal pun lantas memperbaiki posisi berdiri tubuh mereka.
“Ternyata memang benar,
ya?” ucap Rasi kembali. Ia tatap pemuda di sebelah Lintang ini. “Semirip itu kamu
dengan wajah Narajengga.”
Di dalam kedua mata
teduhnya, di antara Alun-Alun Selatan dan riuh tawa canda. Ada sebuah rasa yang
tiba-tiba melebur dalam hati sang pemuda Parkesit, perasaan di mana bahagia dan
luka seperti tengah berdiri diapit di antara tubir jurang yang berhimpit.
Semesta, apakah ini
pertanda, bahwa di halaman ini nanti ia harus kembali mengalah lagi pada sang
putra angkasa? Ia bisa melihat dengan jelas semesta. Bagaimana tadi cara
Lintang memandang inti netra sang pemuda.
Dari tempatnya
berpijak di tepi trotoar, selepas mengusap beberapa kali telapak tangan. Satu tangan
sudah Lanang ulurkan. “Lanang. Lanang Ing Jagat Nabastala.”
Sebuah uluran tangan
itu Rasi tatap begitu lekat.
Jika memang pada
akhirnya, kumpulan bintang ini tiba pada waktu di mana ia memang harus beranjak
pergi dari lembar cerita. Setidaknya, semesta, sekali saja dalam hidupnya. Tolong
beri Rasi waktu sedikit lebih lama untuk merawat jatuh cintanya.
Jabat tangan itu lantas
Rasi sambut dengan hangat. “Rasi. Jajar Rasi Parikesit. Kekasihnya Lintang.”
Singkat padat dan jelas ya mas ganteng 🤭
Gua yang galau