Polesan #06 • Lupis dan Payung Filantropis
“Hujan pernah
menjadi mula di antara cerita kita. Di antara aku, kamu dengan
bahasa paling kasih milik bumantara dan sepasang mata.”
Delapan kali sang
pemuda Nabastala mengulangi ucapannya, delapan kali pula tulisan tangan dari
Narajengga itu kembali ia eja tanpa suara. Yogyakarta, lihatlah sebuah garis
tipis di bawah hidung yang merekah membetuk kurva bahagia; lihatlah sebuah
kata-kata mampu melukiskan kenangan di dalam sudut kepala.
Belum pernah Lanang
melihat sebuah payung lipat yang lapisan kanopi penutupnya tertulis kata-kata unik seperti ini. Jengga benar-benar
mampu membuat takjub isi hati untuk sekali lagi.
Sambil mendudukan
badan ditepi ranjang, dengan silau pagi yang menyilaukan pandangan, Lanang jadi
dihantui dengan rasa penasaran akan cerita di balik kisah
sang payung yang sudah terbuka di depan.
Terlebih dengan
klausa yang tertulis tinta putih di sana.
“Mas Lanang udah
bangun?” tanya Langit, sambil menguap dan mengucek matanya beberapa kali, pemuda
yang masih lengkap dengan piama tidur berona biru dongker itu sudah bersandar di
kusen pintu.
“Liburan begini, kamu nggak kepagian
bangun jam segini?”
“Sindir aja terus sampai
Langit nanti lulus!”
Dengan tawa ringannya,
Lanang lipat kembali payung biru dongker di depan itu lalu
dimasukan ke dalam kantong yang ternyata ada logo Swa Bhuwana Paksa terukir
dengan rona emas di sana. Mungkin memang benar adanya, payung ini memiliki
cerita yang berkesan bagi Narajengga.
Lanang letakkanan payung tersebut didekat figura foto di
atas nakas. Sebuah foto di mana seorang
perempuan sedang memeluk anak laki-lakinya yang rambutnya sehabis dipangkas.
Baru kali ini Lanang merasakan iri, tapi juga syukur di
dalam hati.
Mungkin kalau tanpa adanya foto seperti itu, Lanang
sudah lupa seperti apa cantiknya wajah sang ibu.
Senyuman kecil tersebut kembali mengembang, hingga
raganya berdiri dan mulai beranjak
ke arah pintu. Sebelum melangkah pergi Lanang acak-acak lebih dulu rambut
pemuda yang kini duduk di bangku kelas XII SMA itu. Yang tentu saja membuat
Langit langsung seribu kata
menggerutu.
“Ayah ke mana?” Lanang
bertanya selepas mereka berdua mulai pergi meninggalkan kamar. Dari lantai dua
matanya sudah menyelisik tidak ada kendaraan yang terparkir di halaman. “Pergi?”
“Oh, tadi habis ditelpon
suruh ke Ngupasan bentar
katanya.”
“Ngupasan?”
“Markas.”
“Ada masalah?”
“Ada.”
Langit menghentikan
langkah begitu pemuda jangkung di depannya juga berhenti dan menolehkan kepala ke
arahnya di tengah anak tangga.
“Masalah apa?”
Telunjuk kanan Langit
pun langsung tertuju ke arah dapur di mana seseorang berambut sebahu baru saja
masuk ke dalam. Kening Lanang yang sudah berkerut, ia putar kembali pandangan untuk
memastikan.
“Lintang?” monolog Lanang, dua kali mengedipkan kelopak mata.
“Udah lama Ayah nggak ketemu Mbak Lintang, jadi kemarin Ayah ngajak Mbak Lintang
buat ikut sarapan. Eh, yang ngundang belum buat sarapan malah udah pergi
sekarang.” Akhirnya pemuda yang lebih muda itu turun lebih dulu
dan berjalan ke arah
dapur, pun juga disusul dengan Lanang di belakang. “Beli sarapan di luar aja deh, Mbak. Kamarin lupa
mau belanja jadi nggak ada yang bisa dimasak. Paling
tinggal Indomie.”
Lintang pun menutup pintu
almari es bagian bawah. Badan itu kembali ia tegakan. “Terus kamu mau beli sarapan apa?”
“Em… apa, ya?
Ngikut aja deh, asal Mbak Lintang nanti yang suapin Langit,” jawab pemuda
Engabehi.
Sebentar apa mungkin sebagian besar sifat Jengga sudah diturunkan
ke si bungsu?
Pemuda dengan kaos
hitam berkerah yang mendengar ucapan Langit barusan sudah menggelengkan kepala. “Iya,
nanti disuapin pakai sekop,” sela Lanang, seraya mengambil gelas, ia tuangkan
air putih dari teko kaca di atas meja kitchen island.
“Mbak Lintang jangan
mudah ketipu, ya? Mas Lanang itu aslinya
dua kali lebih menyebalkan dari Mas Jengga ternyata,” cibir Langit, yang
dihadiahi dengkusan dari pemuda Nabastala. “Tapi ngomong-ngomong, Jakarta pasti
baik banget ya sama Mbak Lintang?”
“Kenapa bisa baik banget?”
“Itu, udah jagain
kesayangannya Langit jadi makin cantik.”
Demi kerang ajaib, di
dalam perut pemuda Nabastala itu kini seperti ada yang tengah sengaja
menggelitikinya
secara gaib. Air minum yang berada di dalam mulut sudah
sedikit Lanang semburkan. Kalau
begini sudah dapat dipastikan, sepertinya Lanang harus menarik lagi satu ucapan.
Ini mah bukan hanya sebagian saja, melainkan Jengga sudah menurunkan segala macam sifat maha narisisnya.
Yang benar saja!
“Em, besok lagi kalau minum
sambil berdiri aja terus! Biar makin
kapok kalau tersedak. Udah tahu anjurannya duduk, masih aja dablek,” omel si bungsu. Baru bertemu kurang dari dua
minggu, ternyata sudah seakrab ini dua manusia itu.
Lanang yang beri
wejangan pun lagi-lagi lantas mendengkus. Lengkap sebuah kain serbet yang kini sudah ia lemparkan tepat
mengenai wajah Langit dengan mulus.
Dan dimulailah
sebuah peperangan serbet pagi kala itu.
Seperti tengah mengunjungi sebuah galeri lukisan.
Dipijakan kakinya,
di antara kedua bola mata. Sinar fajar benar-benar menjadi pelukis latar di mana Lintang
seperti bertualang kembali ke masa lalu dalam lukisan cerita. Ada senyawa warna yang mungkin bernama
rindu perlahan mulai menampakan segala rupa. Sekuat jiwa Lintang menangkisnya
dalam kepala. Namun, sekuat rasa wajah pemuda Nabastala itu benar-benar menjadi
pemicu utama terjadinya reaksi kimia yang mengacaukan isi dipikirannya.
Dia bukan Jengga, Lintang. Dia bukan Narajengga!
Doktrin itu Lintang
lafalkan secara berulang dalam sukma. Kelopak matanya bahkan sudah
tertutup begitu rapat di sana.
“Mbak Lintang
kenapa?”
Sontak, gadis
Pawening itu jadi termangu lalu memandang kedua manusia di depan. “A—ah, nggak papa. Cuma kepikiran sama sesuatu aja tadi,”
kilah Lintang.
Langit yang melihat perubahan raut dari perempuan di
depannya lantas mengembuskan napas panjang. Ia paham, selepas Jengga
meninggalkan mereka, ada sebuah dinding tebal yang tiba-tiba membentang.
Gadis Pawening tersebut kini jadi lebih pendiam. Jauh
lebih sunyi dari bintang yang tak disambut kehadiran oleh sang malam.
Bahkan tawa lepas itu kini sudah lama tak terdengar
gaungnya.
Lintang benar-benar menjadi bintang yang meredup
binarnya.
“Mbak Lintang beneran nggak papa?” ujar langit, memastikan
lagi.
Sambil beberapa kali Lintang menganggukan kepala,
simbol OK sudah tertampil di tangan kanannya. Malahan
gadis Pawening itu mulai mengalihkan arah bicara. “Jadinya
gimana, kamu mau sarapan
apa?”
“Apa, ya? Beli nasi—”
Belum sempat Langit mau melanjutkan perkataannya, ponsel di dalam saku piama tiba-tiba sudah bergetar.
Ada sebuah pesan masuk tertera di dalam layar. “Nggak jadi beli sarapan deh, Mbak. Ayah baru mampir
beli sego megono sama empal telur dadar, bentar lagi katanya mau pulang.” Percakapan
pesan di ponsel hitam itu ia lihatkan pada Lintang.
“Beneran nggak jadi mau beli ini?” tawar
Lintang, sekali lagi.
Tiba-tiba Langit menjentikkan
jari. Sepertinya ada ide lain yang tengah berenang di kepala si bungsu ini. “Ah,
mending janjan lupis ketan aja.”
“Kamu pengen lupis
Mbah Satinem?”
“Udah lama nggak
makan, tapi jam segini masih kebagian nggak, ya?”
Lintang lihat jam
kecil yang melingkar di tangan kiri sebentar. Masih pukul enam lebih sepuluh. “Harusnya,
sih, masih kebagian kalau bergegas berangkat sekarang.”
Pandangan si bungsu
pun langsung tertuju pada Lanang.
“Kenapa?” celetuk Lanang.
“Ya nganterin Mbak Lintang
belilah. Mau ngapain lagi? Ya kali nungguin Langit mandi dulu? Bisa bulan depan berangkatnya nanti.” Langit sudah berujar, lengkap dengan tangan yang menunjukan
piama yang masih ia kenakan. Dasar, memang pandai sekali ini
anak mencari argumen dalam perdebatan. “Sekalian tuh, Mas Lanang bisa
tanya-tanya langsung soal payung di nakas tadi.”
“Payung?” Lintang tolehkan pandangan ke
manusia berkaos hitam.
**
“Lupis kaleh ketan
ireng e setunggal njih, Mbah? Dipincuk mawon, amargi badhe
dimaem teng riki,” ucap Lintang dengan bahasa Jawa
alakadarnya, gadis berambut sebahu dengan seragam bawah abu-abu itu sudah
memesan jajanan pasar kesuakaannya seperti biasa.
Satu porsi lupis
dengan tambahan kentan hitam yang langsung Lintang makan di tempat. Lupis dan
ketan hitam memang bisa menjadi salah satu pengubah perasaan karena kusutnya langit pagi ini yang terlihat.
Tiba-tiba seorang pemuda dengan warna seragam sekolah
yang senada dengan Lintang sudah duduk di sebelahnya. Genap dengan pesanan yang
sama pula. Hingga diucapan setelahnya lantas membuat gadis Pawening terdiam
seketika.
“Mbah, juruh gendise
kagungane Mbak e niki boten sah katah-katah njih, mengkeh kulo ndak tambah kesirep
kaleh paras ayu ne.”
Simbah hanya melukiskan senyuman kecil.
Namun, bola mata Lintang sudah membulat tak percaya begitu melihat
orang yang barusan berujar di depannya ini. Apalagi mendengar ucapan bualan tadi. Ya walaupun gadis
Pawening itu tak begitu fasih dalam penggunaan bahasa ibu dari suku jawa.
Setidaknya sependek pengetahuan Lintang, ia
sedikit paham dengan ucapan sang pemuda.
Apa, cairan gula jawanya
tidak usah banyak-banyak biar dia tidak tambah naksir karena terlalu manis, begitu
maksudnya?!
Kenapa, ya, orang-orang jadi hobi sekali membuatnya
kesal di pagi hari? Lintang sampai kehabisan tenaga untuk menanggapi.
“Iya tahu ganteng, lihatnya biasa aja,”
ungkap sang pemuda.
“Ngapain kamu di
sini?”
Kepala sang pemuda menoleh sebentar ke arah simbah. “Mau ikut ngantri
beli juga, tapi maunya ngantri diurutan pertama,” jawab Jengga, duduk di bangku kayu kecil di depan Lintang, sembari menopang dagu dengan dua tangan.
“Enak aja!” sentak Lintang, bola mata gadis itu sudah
membulat. “Jelas-jelas aku yang pesan duluan, aku yang pertama, ya!”
“Iya, kamu yang pertama pengen selalu aku jaga.”
Api yang tadinya sudah menyulut di kedua mata, kepalan
tangan yang bahkan sudah mengeras sekuat baja, hingga suara genderang dari
dalam raga yang siap meletus bak perang di Kurukshetra. Seketika semuanya
hilang ditelan heningnya sang bayu pagi, tepat selepas Lintang melihat air muka
Narajengga yang sudah menggodanya lagi.
Semesta, kau tahu ini pukul enam saja belum genap sempurna?
Kenapa paginya sudah dilanda berbagai macam ujian jiwa?
Bisa-bisanya lagi gadis Pawening itu masuk ke dalam
jebakan Jengga lewat ramuan percakapan. Padahal sudah tahu kalau pemuda di
depannya ini pandai hati perihal memancing amarah dari relung perasaan.
Menutup rapatlah kedua kelopak mata Lintang. Napas itu
sudah ia embuskan begitu panjang.
Lintang tenang, sabar selalu menghasilkan jalan bahagia
yang lebar.
Gadis itu terus merapalkan nasihat sang ayah yang sampai
sekarang masih saja ia ingat dalam kepala.
“Genduk Ayu, monggo
lupis ketan ireng e, boten
katah juruhe niki.” Lintang terima pincuk daun pisang lupis dari tangan simbah. Lantas simbah
pun menoleh dan mengulurkan lagi sebuah pincuk pesanan Jengga dari tangan. “Leres
to, Cah Bagos?”
“Matur suwun, Simbah.” Sambil menerima pincuk daun, Jengga sudah menarik kedua sudut bibirnya
membentuk senyuman paling lebar hingga membuat Lintang kesal
dengan wajah yang siap mau mencakar.
Mungkin bagi Jengga, membuat Lintang kesal jadi salah
satu alasan mengapa bumi ini diberi nama istimewa. Yogyakarta. Setiap sudut
tempatnya menuliskan cerita dengan tutur kata.
Dari sudut mata, lamat-lamat Jengga perhatikan gadis di
samping dia yang tengah kesulitan menyisipkan surainya di belakang daun
telinga. Hingga tanpa sadar yang nyata, tangan pemuda Alugara itu terulur di
sana, dengan lentik jemari tersebut membantu menyelatkannya. Membuat sang gadis
Pawening terdiam pada beberapa jeda.
Pada tempatnya, Jengga kembali ke posisi duduk semula. Kini
dihadapan satu pincuk makanan dipangkuan kedua telapak tangan, ia pejamkan mata
lalu mulai mamanjatkan doa dalam keyakinannya… dan diakhiri dengan sebuah
mantra karunia.
“Semesta aku berdoa juga, ya? Untuk makanan pagi ini
yang tersedia, untuk tangan-tangan baik yang begitu kasih telah membantu membuatnya,
dan untuk semua doa baik karena syukur diberi banyak karunia. Semoga segala hal
baik bagiku dan bagimu, semoga baik.”
Sang bayu itu tiba-tiba berdesir pelan melewati
wajah-wajah tertegun dan sela-sela suara. Membawa suasana begitu hangat yang
mulai mengisi ruang di jantung sukma. Untuk kali pertama Lintang mendengarnya,
ada hal yang terasa janggal di sana. Sebuah alunan nada syang bisa menyihir
mata hingga sang raga.
Jengga tolehkan kepala ke arah gadis Pawening. “Kenapa,
udah jatuh cinta?” lontarnya, membuat isi kepala Lintang serasa dibawa kembali
ke dunia. “Udah mau, jadi pacarnya
Narajengga?”
Tersedak sudah gadis
berambut sebahu tersebut.
**
Kenapa dia jadi naik
bus yang
sama juga?!
Dalam hati Lintang sudah menggerutu. Berharap hal ini
hanya sebuah bayang yang semu. Namun ternyata, ini adalah nyata yang berjalan
di depan dia. Semenjak kejadian membeli lupis tadi, ternyata pemuda Alugara tersebut
berjalan mengikutinya lalu menaiki kendaraan umum yang sama.
Pandai sekali memang manusia ini menambah
beban kepala.
Ke mana lagi juga itu sepeda putih sok sehatnya?!
Karena sistem duduk di kendaraan umum berbadan baja ini saling hadap-menghadap. Gadis Pawening itu menghela napas berat. Sekilas Lintang lirik manusia yang duduk di depan.
“Kenapa curi-curi pandang, takut
aku hilang dari bumi?”
Kalau dihitung dari tadi pagi,
kira-kira sudah membual berapa kali ya pemuda Alugara ini? Lintang sampai pening mendengarnya dari tadi.
Tak mau ambil pusing yang lebih besar dari para pemangku negara, Lintang kembali memutar kepala dan melihat ke arah luar
jendela. Baru saja ia menolehkan wajahnya, langsung saja disambut oleh ribuan
rinai yang mulai tunai menyapa dia lewat kaca jendela. Pagi ini, Bumi Kasultanan
diberi rezeki dari angkasa.
Gadis itu tak menyadarinya, bahwa sepasang mata seorang pemuda terus mengawasi gerak-geriknya seraya melukis kurva di
air muka. Hingga pandangan Narajengga jatuh pada seorang gadis berseragam biru di
sudut bangku dan sebuah buku. Iya, buku bersampul kuning gading dengan sebuah ukiran
nama tertera di situ.
Sapardi Djoko Damono.
Jengga jadi teringat sesuatu. Mungkin kita tahu. Aku Ingin
adalah salah satu sajak paling melegenda di antara karya-kraya besarnya. Yang
bahkan banyak orang bisa mengingatnya di luar kepala, sampai di ruang rasa.
Namun bagi Jengga, ada satu lagi puisi Sapardi yang begitu melekat
di dalam kepala. Puisi yang diramu pada tahun sembilan satu.
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
Dari bait pertama sajak yang ia suarakan itu, Jengga sengaja menjeda
larik terakhirnya. Kepala pemuda Alugara tersebut lantas menoleh ke arah
Lintang di depan dia. Dan satu larik terakhir dari bait pertama, ia lantunkan
begitu lembut dengan mata teduhnya.
kau takkan kurelakan sendiri
Pagi ini di antara hujan dan Trans Jogja yang cukup lenggang.
Perasaan gadis Pawening itu tiba-tiba dibuat begitu bimbang karena sepenggal puisi
dan sebuah tatapan. Andai saja kalau bus ini begitu ramai. Mungkin Lintang sudah menjadi pusat alam semesta yang tengah
bersemai.
Demi menghilangkan gugup yang mulai menyebar di raga. Lintang
alihkan pandangan ke kanan kirinya. “Ngapain kamu ngelihatiin aku?”
“Aku nggak ngelihatin kamu.”
“Terus itu tadi apa, ngelihatin hujan?”
“Enggak, tadinya aku mau ngelihat pacar baruku, tapi kenapa jadi
kamu yang malah merasa?” jawab Jengga, satu sudut bibir itu sudah terangkat di
wajahnya. “Kamu pacar baruku?”
Kelopak mata gadis Pawening itu langsung menutup rapat. Sial,
lagi-lagi Lintang masuk ke dalam jebakan percakapan yang menjerat. Dua kepalan
tangan tersebut sudah mengeras lebih erat. Ada kumpulan rasa kesal yang
bersarang di sana begitu hebat.
Pagi itu ingin rasanya Lintang memukul laki-laki di depannya,
akan tetapi niat tersebut hilang begitu kendaraan berbaju baja ini akhirnya tiba
ke tempat tujuan mereka.
“Nih, pacar baru!” ketus Lintang, lengkap dengan sebuah sepatu
yang sudah ia injakkan di pangkal kaki Jengga.
Bukannya menjerit atau menggaduh kesakitan. Jengga justru
melukis senyuman bak orang mendapatkan keberuntungan. Manusia ketika hatinya
tengah berbunga, mungkin seperti itu salah satu wujudnya. Dibutakan oleh hal
yang nyata, demi sebuah rasa di dalam sukma.
Tak sabar ingin berlari menuju sekolah dengan segera, Lintang
mulai menarik tas punggungnya di atas kepala. Di ambang pintu halte tubuh itu sudah
berdiri. Sekarang tinggal selangkah untuk menerobos hujan yang tak mau berhenti.
Lintang sadar, walau risikonya dia bisa kedinginan karena basah, ia tidak boleh
terlambat masuk ke sekolah.
“Satu.. dua… ti—”
Baru satu pijakan langkah itu keluar. Gadis itu terkesiap
sebentar. Dari belakang tubuhnya sudah ditahan oleh seseorang. Gesit, wajahnya lantas
menoleh dan mendongakkan pandangan. Manik cokelat terang tersebut kini melihat sebuah
jawaban sederhana. Warna biru dongker yang kali ini Lintang tangkap dalam panca
indra.
Alat pelindung hujan itu sudah terbuka di atas kepala. Sudut
mata Lintang turun dan melihat pada sosok pemilik payung biru di sana, dan
pelakunya tidak lain tidak bukan adalah….
Narajengga Alugara.
Laki-laki yang sudah menggenakan topi hoodie putihnya yang
melingkar di kepala, dengan sigap menarik pergelangan tangan Lintang agar lebih
dekat ke arahnya. Dengan gerakan cepat, tangan pemuda itu memindahkan pegangan
payungnya kepada gadis berambut sebahu di depan dia.
“Kamu—”
Belum sempat selesai berujar, kini dua tangan hangat pemuda
tersebut menyentuh kedua sisi bahu Lintang. Akhirnya, kata-kata yang ingin Lintang
ucapkan di ujung lidah jadi tertahan.
“Aku tahu lewat rinainya hujan ia begitu sayang sama bumi, tapi
aku nggak mau lihat rasa sayangnya hujan kepada bumi buat kamu sakit, dan esoknya
aku harus rindu karena kamu nggak berangkat. Jadi gunain payungnya, ya? Kalau
enggak aku marah.”
Setelah barisan kalimat itu terucap, laki-laki dengan mata
sipit tersebut lantas pergi. Pemuda berhoodie tadi mulai menjauh menembus rinai
yang kian deras tak mau berhenti.
Dalam pijakannya Lintang termenung beberapa jeda, dalam hati ia
mulai menghitung dari angka satu hingga jatuh di angka ketiga.
Dan manusia dengan hoodie putih itu membalikkan raga.
Lintang menatap tak percaya melihat rupa dari pemilik mata
hitam tinta. Apalagi, lengkap dengan sebuah simpul senyuman yang melukis di sudut
bibirnya. Mungkin baru kali ini Lintang menyadari, senyuman itu menjadi salah
satu lukisan sabit yang begitu menawan dari sekian banyak manusia di bumi.
Pemuda Alugara itu lantas kembali berlari ke arah Lintang.
Entah kenapa, detik ini, pada satu keping hati, ia seakan mulai
terasa menghangat. Begitu pula, ketika maniknya melihat sebuah potret manusia
yang berlari kian mendekat. Ada sedikit bara yang mulai terpercik di antara
kerumunan hujan yang begitu lebat.
Waktu itu, hujan mulai menjadi sahabat baik seorang Lintang.
Begitu pula sepotong hati kecilnya yang mulai berdegup semakin kencang. Mungkin,
dari sini. Rinai hujan menjadi mula dari kisah Lintang dengan pemilik payung biru
ini.
“Jangan sakit, ya, calon pacar barunya Narajengga?”
**
“Ah, jadi payung yang aku temuin di kamar Jengga itu, pasti
bersejarah banget buat kalian, ya?” ujar Lanang. Selepas jajanan lupis dan
ketan sudah didapatkan, segera mereka berdua pulang. “Nggak nyangka aja. Ternyata
seromatis itu anaknya.”
“Romantis apanya? Ceroboh mah iya.”
“Kok bisa ceroboh?”
Lintang yang sudah sampai di depan pintu pagar langsung
membalikan badan ke arah Lanang. “Bersambung.”
Kotak tertawa di dalam bibir pemuda Nabastala sudah
mengudara, suaranya membuat matanya semakin terlihat sipit di sana. Seperti cerita
di dalam drama saja, ada bersambungnya juga.
“Mas Lanang, ini mirrorlesnya emang udah nggak dipakai?”
tanya Langit, begitu Lanang dan Lintang sampai di dapur. Tangan kiri pemuda itu
sudah ia angkat. “Kok ada di dapur?”
“Ah lupa, kan!” Lanang langsung menepuk jidatnya. “Gara-gara ke
kamar madi tadi malem, sampai lupa mau aku bawa naik ke kamar. Makasih ya adik
bongsorku.”
“Nggak gratis ya ini?”
“Iya, nanti dibayar pakai cium.”
“Dih! Nggak minat!”
Pemuda Engabehi itu langsung nylonong mengambil jajanan lupis
ketan di kantong plastik di atas meja. Sedangkan gadis Pawening itu malah
memandangi benda di tangan Lanang.
“Kenapa?” tanya Lanang.
“Enggak, cuma penasaran aja, kamu suka fotografi?” Lintang
berucap, sambil menunjuk ke kamera. “Kemarin kamu juga bawa kamera, kan?”
“Oh, kalau suka… enggak terlalu juga. Cuma… kamera ini
kadang yang jadi teman terbaik dari cerita-ceritaku aja,” balas Lanang,
tangannya sedang menekan sesuatu tombol di kamera.
“Teman dari cerita-cerita kamu?”
Tak langsung menjawab, Lanang justru mengulas senyum kecil
dan mulai mengangkat kamera di depan mata. “Iya, contohnya kayak begini.”
“Ngapain di fo—”
Terlambat, satu jepretan sudah berhasil Lanang dapatkan.
Sebuah potret seorang perempuan sudah terlukis di dalam. “Selamat, ya, kamu
sudah berhasil debut di cerita kamera saya.”
Dua orang di dapur itu lalu tertawa kecil bersama. Hingga Langit
kembali memandangi mereka. “Oh, Langit kira bakal bilang. Selamat, ya, kamu
berhasil debut di hati saya.”
Dan perang serbet tahap kedua, kembali dibuka. Lintang yang
menyaksikannya lagi-lagi melukis suara tawa.
“Kayak seru banget bercandanya?” Tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh
gagah dengan kantong plastik digenggaman masuk ke dalam. Tak lupa, ada
seseorang juga yang tiba-tiba menyusul di belakang Awan.
“Genta?” seru Lintang tak percaya.
Pemuda yang duduk di bangku kedokteran itu sudah melambaikan
tangan lengkap dengan wajah datarnya ke arah Lintang.
“Tadi Om ketemu Genta waktu beli makanan, Om bilang kalau Lintang
ada di rumah, jadi sekalian aja Om ajak tadi,” jelas Awan.
“Pinter, ya, pulang-pulang ke Jogja nggak kasih kabar,
tahu-tahu ketemu Om Awan terus bilang, ‘itu orang Lintang ada di rumah’, kampret
emang ini manusia!” cibir Genta, menjewer gemas telinga kiri gadis Pawening. “Ada
angin apaan kamu sampai mau balik ke Jogja, padahal sekalipun aku yang
ngerengek aja kamu nggak mau pul—”
Perkataan Genta berhenti begitu melihat manusia yang berdiri
memengang kamera. Bahkan kelopak mata pemuda itu sudah berulang kali ia kedipkan
tak percaya. Dengan wajah bengong, kepala itu akhirnya menoleh lagi ke arah gadis
di depannya.
“Lintang, aku nggak jadi indigo, kan?”
Awan yang melihat perubahan air muka pemuda Saka Bumi itu
langsung tertawa. “Itu anak Om yang satunya lagi, Genta. Kenalin… namanya
Lanang.”
Pemuda Nabastala itu sudah mengulurkan tangan ke depan. “Lanang…
Lanang Ing Jagat Nabastala.”
“Genta. Genta Aji Saka Bumi. Sahabatnya Lintang dari SMA.” Jabat
tangan itu Genta raih. “Jadi kamu, ya?”
“Aku kenapa?”
“Yang udah
bawa pulang tawanya Lintang.”
Terima kasih untuk updetan nya Mas 😊
Dah gak bisa ngomong
Ah baru saja saya curhat mengenai Lintang teman saya di polesan sebelumnya, tentang dia dan saya yang mengagumi eyang Sapardi, ternyata di polesan ini sebait puisi eyang yang saya kagumi tentang jasad yang tak meninggalkan bait puisinya. Wah, sungguh tidak terduga. Terima kasih Mas Nava, saya kembali membaca sepenggal puisi eyang yang sampai sekarang bukunya masih belum bisa saya beli dan hanya saya nikmati di perpustakaan SMP saja. Mas Nava, saya harap Anda selalu diiringi kebahagiaan dan kesehatan, karena masih banyak insan yang mengagumi Mas dan karya Mas Nava menunggu kabar baik Mas Nava setiap harinya.
Mengetahui Lintang berada di semester 4, saya jadi ngerasa ada diposisi Lintang, ya meski kisahnya berbeda, tetapi rasa kehilangan masih tetap menjadi rasa kehilangan, benar bukan?
wah komentar saya yang tadi tidak terkirim sepertinya, saya lupa tadi spesifikasi saya berkomentar apa. yasudah lah hehe