Polesan #07 • Astrolog dan Puncak Sosok
“Aku percaya, rangkulmu mampu menjadi rumah yang baik untuk
tangisnya. Maka dari semua… aku titipkan semestaku pada hatimu, ya?”
Kalimat yang baru saja dibawa oleh embus sang bayu dari tiga
tahun lalu itu, kini perlahan mulai berlarian kembali dan berputar dalam kenangannya
yang membiru. Sebuah pesan terakhir yang sempat Rasi terima dari pemuda Alugara;
sebuah ucapan yang dulu sempat mewarnai jingga yang berpulang kembali ke langit
persada.
Hari itu, jingga tersaput merah bata benar-benar terlukis di bumantara.
Senja terakhir kali ia bersama Narajengga.
Ternyata ada beberapa hal yang paling menyakitkan, tidak lain
tidak bukan, ia datang dari kenangan yang tersimpan.
Pemuda dengan kaus putih berlapis flannel cokelat muda tanpa
dikancingkan yang memangku gitar itu kembali menghela napas panjang. Sudah lebih
dari satu jam fokusnya dibawa pergi oleh sang hilang. Netra yang kini mendongak
menatap jendela angkasa raya pun kini jadi tak ada rasa. Di matanya kini hanya terlihat
langit Yogyakarta yang perlahan mulai kehilangan temaram lukisan jingga.
Dari Puncak Sosok tempatnya berada, kini mulai dihiasi sorak-sorai
anak muda yang tengah mencari senjanya Yogyakarta di penghujung cerita.
Sedangkan pemuda Parikesit itu tengah mencari-cari di mana sejatinya senja hatinya
berada.
Apakah masih di langit yang sama?
Atau sudah diambil kembali sama ajinya rasa?
Rasi akhirnya menolehkan kepala ke sekitar. Dari samping kirinya
sudah terlihat beberapa angkringan dari gubuk rumah bambu yang estetikanya
mencuri latar. Sedangkan di belakang, sudah tersusun begitu rapi anak-anak muda
yang menggelar alas tikar di setiap terasering perbukitan. Semua pandangan pun
menuju ke arah depan. Di mana di sana sudah ada podium panggung dengan latar belakang
lukisan langit jingga nan membentang.
Kalau Rasi lihat kembali mungkin seperti Aula Simfonia
Jakarta, tetapi dengan versi salah satu alam terbukanya bumi Yogyakarta.
“Kenapa itu muka jadi murung? Kayak keset aja, Pret.” Selepas
menyakukan ponselnya, Jatra berujar seraya berjalan mendekat ke arah duduknya pemuda Parikesit di sana, lengkap
membawa dua minuman di tangan Jatra. “Perasaan semenjak Lintang pulang, jadi
sering ngelamun?”
Manusia yang ditanya lantas meletakkan gitar cokelatnya pada
wajah tikar. Sedangkan jemari itu kembali meneruskan tulisan bait-bait lirik di
jurnal yang sampai sekarang belum kelar-kelar.
“Lagi banyak pikiran,” lirih Rasi, di atas lembar itu ujung
pensilnya terus saja menari. Entah sudah berapa banyak goresan yang ia beri.
“Soal Lanang?”
Tabuhan gong gamelan Jawa serasa bedentang kala itu juga.
Satu nama yang terucap itu langsung membuat pensil di tangan pemuda
Parikesit berhenti. Tidak menyangka juga bahwa ternyata Jatra bisa mengetahui. Kepala
Rasi lantas berputar sembilan puluh derajat ke arah pemuda dengan celana hitam
selutut dan bertopi.
“Kau sudah tahu—”
“Kalau kembaran Jengga masih hidup?”
Yang ditanya justru membalas dengan satu tarikan napas.
“Kemarin malam nggak sengaja ketemu dia sama Langit waktu beli
makan,” sambung Jatra, kembali menyeruput minuman. “Ya walaupun kemarin pakai acara
drama sialan. Ya kukirakan tiba-tiba kok aku bisa jadi anak indigo dadakan. Ternyata
kampret! Udah jadi pusat perhatian, mana pas nemenin makan gebetan. Ah, demit
emang! Mau ditaruh di mana lagi ini muka sekarang?!”
Mendengar sekilas curhatan sahabatnya, Rasi malah
menggelengkan kepala. “Kemarin siapa lagi yang kauajak makan?” sindir Rasi,
karena ia tahu betul dengan tabiat pemuda di sampingnya ini. Bayu Putra
Juanjatra dan segala kisah peliknya perihal hati dan ditinggal pergi. “Si anak fisipol,
si manusia kimia murni… atau si dia yang nggak bisa dilupakan hati?”
“Wedhus!”
Mungkin melihat bibir tebal seorang Juanjatra kesal, bagi
Rasi rasanya itu sudah lebih dari cukup jadi obat perubah mood yang andal. “Berarti kemarin kamu sempet ngorol sama Lanang?”
“Sedikit. Soalnya kemarin Papa juga mendadak telpon, suruh
balik cepet karena Mama pingsan. Jadi nggak bisa ngobrol banyak.”
“Ah, yang tadi kamu cerita, kalau Mama pingsan gara-gara
lihat adikmu dandan seperti kuntilanak buat latihan drama sekolah?”
“Emang ada-ada aja itu kelakuan si kampret, bikin yang waras
jadi tambah stres.” Gelombang tawa itu keluar dari bibir Rasi meski kecil
terdengar suaranya. Jatra yang tengah merogoh ponselnya di saku karena bergetar
pun langsung menaikan satu alis begitu melihat ada pesan masuk di sana. “Tapi
kayaknya percakapan singkat kemarin bakal berlanjut.”
“Lanjut?”
“Tadi itu mau aku ajak ke sini dia, tapi ternyata baru ada
urusan jadi mau nyusul katanya. Mungkin bentar lagi dia sam—” Jatra yang tadinya
mau menatap Rasi pun tiba-tiba teralihkan dengan seseorang yang berjalan turun ke
arah mereka. “Oh, itu Lanang sama—”
Karena perkataan pemuda Juanjatra itu malah berhenti, kepala pemuda
Parikesit pun langsung ikut menoleh ke arah di mana pandangan Jatra mengamati.
Sudah ada pemuda dengan jaket denim yang lengannya digulung hingga siku,
dalaman menggunakan kaus putih senada dengan Rasi, lengkap sambil menenteng
sesuatu di tangan kiri.
Datangnya pemuda Nabastala itu memang sempat mencuri banyak
pasang mata di Puncak Sosok. Siapa juga yang tak terpanah dengan rupanya yang
elok. Namun bukan itu yang membuat Rasi terkesiap ketika kedatangan Lanang,
hanya saja saat ia melihat dua orang gadis di belakang Lanang ada Kala dan….
“Lintang?” gumam Rasi.
“Heh kalian, kita ada di sini!” seru Jatra, dari alas tikar
mereka duduk tangan kanan sang pemuda sudah terangkat melambai-lambai di udara.
Seraya mengerakan tungkainya, pemuda Nabastala itu pun
melepas airpods di telinga. “Sori lama, tadi nggak tahu jalan, jadi banyak kesasar,”
ucap Lanang begitu menyalami Rasi dan Jatra dengan tos kepalan tangan.
“Santai aja, kita juga bukan manusia sepenting pejabat
negara. Cuma agak heran aja kok ke sini bisa bareng Lintang sama Kala?” tanya
Jatra, menunjuk dua manusia di belakang Lanang dengan dagunya.
Gadis Ancala dengan kemeja putih berlapis switer tribal
berona merah jambu tanpa lengan yang dimaksud sudah berkacak pinggang, makhlum
saja manusia jarang olahraga kalau disuruh berjalan naik dan turun perbukitan
bawaannya ngos-ngosan.
“Tadi nggak sengaja ketemu dia di parkiran kayak orang
bingung. Ya udah, ternyata dia mau ketemu kalian juga, jadi kita angkut
sekalian,” jawab Kala, berusaha mengatur pernapasannya. “Tapi kalian penasaran
nggak, sih, reaksi pertama kali aku tadi lihat dia gima—”
Satu telunjuk milik Jatra sudah mendarat di depan bibir Kala.
“Nggak usah diterusin karena aku juga baru ngalamin kemarin,”
desis Jatra memotong kalimat Kala.
Dari alas tikar Rasi sudah mendongak ke arah Lintang yang
masih berdiri seraya menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga. “Capek, ya?
Sini duduk,” pinta Rasi, telapak tangan itu sudah menepuk tempat di sebelahnya.
Gadis Pawening menggeleng sebentar. “Enggak, cuma jadi haus
aja.”
“Ya udah, aku pesenin minum dul—”
“Nggak usah, aku sendiri aja yang ke angkringan,” potong
Lintang, menahan Rasi yang sudah siap beranjak dari tempat duduknya. Kepala gadis
itu lantas melihat ke arah sahabatnya. “Kal? Kamu mau tunggu di sini aja atau
mau ikut beli minum?”
“Ikut dong, tapi pelan-pelan aja jalannya! Capek.”
Gadis Ancala itu lantas berjalan mengikuti Lintang menuju
gubuk-gubuk penjual angkringan. Namun baru sepuluh langkah mereka menjauh
menapakkan kaki di bumi Bawuran. Langkah dua manusia itu berhenti, Lintang
tolehkan kembali kepalanya ke arah tiga laki-laki tadi.
“Kalian udah pesen minuman?” tanya Lintang.
“Udah pesan, tinggal Lanang yang belum,” seru Jatra.
Akhirnya kepala gadis Pawening itu melihat ke arah pemuda di
samping Jatra. “Lanang, kamu mau pesan minum apa?”
“Nggak usah, tadi Ayah iseng dibawain susu kotak banyak ini,”
jawab Lanang, lengkap dengan sebuah sabit terlukis di ujung ucapan.
Walau hanya terasa sebentar, Lintang cukup tertegun ketika
melihat susu kotak rasa cokelat di dalam totebag hijau tua berlambang Kartika
Eka Paksi yang Lanang tunjukan. Lagi-lagi sebuah perasaan ganjil yang kemarin singgah
kembali datang.
Semesta, kalau Rasi boleh jujur pada butala. Pemuda Parikesit
itu sebenarnya paham apa yang ada di kepala gadisnya. Lintang tahu bahwa ia dan
Jatra sudah memesan minuman. Dia hanya ingin menawarkan hal tersebut kepada
Lanang, karena melihat pemuda Nabastala itu kelelahan. Rasi bisa melihatnya secara
gamblang pemandangan di depan dia, akan tetapi sekuat rasa ia berusaha untuk membuang
semua prasangka buruk yang bergemuruh di kepala.
Rasi sudah berjanji pada dirinya sendiri atas nama angkasa.
Seperti yang Lintang beri saat dulu kala, ketika menerima dirinya.
Hati gadis itu tentu saja masih terlukis seorang Narajengga, nama
yang akan terus terbayang di sudut hati gadisnya. Namun Rasi bilang tak apa. Tak
apa semesta. Selama Lintang bersamanya, ia tidak mau serakah lagi terhadap inginnya.
“Aku aja yang tambah jeruk panasnya satu,” sela Rasi, yang
berhasil membuat lamunan singkat Lintang tiba-tiba hilang. Sambil mengangguk pelan,
menerima permintaan Rasi, gadis Pawening itu kembali berjalan.
Baru saja tiga pemuda itu hendak kembali mendudukkan raga.
Tiba-tiba sebuah percakapan mampu mengalihkan antensi mereka.
“Kan yang kalah taruhan tadi situ besek!” Tiga orang remaja
yang duduk di alas tikar sebelah mereka tiba-tiba ribut di sana. “Tuh lihat di postingan
dia, nembus seribu like kan dalam dua jam. Sana goyang duyung di tengah-tengah
panggung, atau tuh cium si Idris.”
“Bangke!”
Entah seperti ada tali yang mengikat di antara kedua pasang
manusia. Jatra dan Rasi pun tiba-tiba jadi saling melempar pandangan mata, hingga
tanpa bicara seolah paham dengan maksudnya, dua detik selepas itu tawa mereka
mengudara bersama.
“Kampret, kayak lagi dejavu!” umpat Jatra, menahan gelak tawa.
“Kan itu dulu ulahmu, makanya Jengga mau?”
“Ye si cempe nyalahin lagi!”
Lanang tiba-tiba menginterupsi. “Kenapa sama Jengga?”
**
“Gendeng ini si wedhus! Hahaha….”
Siang di istirahat kedua, Jatra langsung menyemburkan gelombang
tawa setelah membaca satu komentar temen mereka di postingan Instagram
seseorang. Rasi yang tadinya berjalan di belakang pun akhirnya menghampiri perlahan.
“Nonton apa?” tanya Rasi, ia rangkul sisi bahu Jatra lalu
menyelisik apa yang dilihat manusia satu ini.
“Ini si kampret. Gendengnya kumat lagi kurasa. Mana komentar
pakai akun pribadinya lagi hahaha….” Jatra langsung melihatkan satu komentar
Angga—salah satu teman basket dia di SMA Nagara—di layar ponsel miliknya ke
arah Rasi.
satyadwiangga: Lagunya
bagus, Mas, tapi kenapa jadi ngingetin sama kisah mantan, ya? Kampret. Ini kalau
komentarku dibales sama bandnya. Aku ajak balikan dah si mantan.
Cukup lima detik ia membaca. Rasi langsung melukis senyuman
di air muka. Sebetulnya tidak ada yang begitu lucu dari tulisan Angga. Hanya
saja yang menjadi topik hangatnya, ketika pihak pemilik lagu tersebut merespons
dengan cepat komentar Satya Dwi Angga.
therainband:
Ditunggu kabar balikan ya, Mas Bro?
Dua manusia yang berdiri di dekat taman itu sudah berkelakar
tak bisa dibendung lagi. Bisa-bisanya hal selucu ini terjadi siang-siang terik
begini. Jengga yang dari tadi memainkan pensil saktinya Rasi di belakang
mereka, hanya menggelengkan kepala.
“Palingan juga cuma wacana balikannya,” komentar pemuda Alugara.
Sekilas Rasi dan Jatra langsung bertatapan. Dua pemuda itu
kemudian menoleh ke belakang dan menatap Jengga yang sibuk sendirian. Namun di
sela-sela itu satu ide terbesit di antara jahilnya sebuah persahabatan.
“Nih kalo Angga jadi balikan beneran gimana, Jen?” tantang
Jatra.
“Aku turutin permintaan kalian.”
Rasi yang mendengar langsung melipat kedua lengan di depan
dada, selepas ia melempar koran di tangan itu ke arah wajah Jengga. “Yakin
bakal diturutin?” goda Rasi, seringai jahil sudah terpulas di wajah. “Tuh baca
halaman belakang! Minggu ini taurus lagi nggak mujur. Katanya jangan terlalu
gegabah menjanjikan sesuatu atau hasilnya bakal ajur.”
“Sejak kapan kamu jadi sering baca astrologi gini?” kekeh
Jengga, selepas membaca ramalan rasi bintangnya di halaman belakang koran. “Tenang
aja, beneran aku turutin permintaan kalian. Buat kontrak deh kalau perlu, puas?”
“Nas ye!” seru Jatra tak tertahan. “Awas aja ini wedhus kalau
ngibul.”
Tiba-tiba ketika Jengga ingin mengembalikan korannya Rasi. Ada
suara berisik yang terdengar di sekitar mereka tanpa henti. Tiga pemuda yang
ingin duduk di taman tersebut kontan mengalihkan pandangan ke sumber suara tadi.
“Ada apa kok rame banget?” Suara Rasi mengudara begitu
menyelisik dari jauh gerombolan anak-anak.
Jatra yang terlanjur penasaran ada apa, dia langsung mencegat
seorang siswa yang baru saja dari tempat asal suara. “Eh, Mas Bro? Ada apaan kok
ramai banget di sana?”
“Ah itu?” jawab pemuda dengan kacamata tersebut setelah
menunjuk gerombolan anak-anak yang Jatra maksud. “Si Angga beneran nyamperin
Dera di kelas, katanya mau ngajak balikan. Eh, malah beneran balikan.”
Dua pemuda berseragam atasan kemeja putih dengan dasi hitam
dan bawahan krem itu—Jatra dan Rasi—mereka langsung melihat ke arah di mana
raga Narajengga berada.
Manusia itu terlahir dari berbagai macam rasa percaya. Ada
yang mengira itu hanya kebetulan semata. Ada juga yang mempercayai setulus jiwa
bahwa mungkin itu memang sudah menjadi rencana dunia dalam terciptanya alur
cerita. Namun entah ini memang garis takdir untuk Narajengga, atau hanya kebetulan
saja. Pemuda Alugara tersebut harus menanggung janji dari ucapannya.
“Ah, singgo!” umpat Jengga, diakhiri dengan senyuman pahit.
**
Tiga pemuda yang duduk di atas tikar itu lantas tertawa lagi.
Lanang yang habis mendengar cerita Jatra dan Rasi jadi ingin menggali lebih
dalam lagi kisah saudara kembarnya ini.
Ah, atau mungkin ini yang dimaksud ucapan Jengga direkaman
yang tadi ia dengarkan?
“Sebercanda itu kisah ini dulu bermula, hingga akhirnya aku
bisa menyapaikan rasa yang sudah lama ini padanya. Pada ia, yang sudah menjatuhkan
kata cinta.”
Pemuda Nabastala itu jadi kembali mengulas senyum di wajahnya.
“Jadi setelah kejadian itu kalian menyuruh Jengga untuk apa?”
Rasi yang sudah bersedekap langsung menujuk Jatra dengan
dagunya. Sedangkan pemuda bertopi itu
mengambil pensil milik Rasi di atas jurnal bersampul cokelat muda. “Dengan ini
kita menentukannya.”
“Pensil?”
**
“Cari pacar?!” pekik Jengga, kaget selepasnya membaca satu
tulisan di kertas kecil yang ia ambil dari botol mineral. “Hahaha… bercanda,
kan?”
Di dalam botal itu, sudah ada lima lintingan kertas harapan yang
sudah ditulis oleh anak-anak yang tadi sempat melewati taman SMA Nagara. Dan yang
diambil Jengga, adalah sebuah kertas yang bertuliskan….
Semoga masa SMA-ku lebih
berwarna. Ya, misal dapat pacar juga nggak papa, biar lebih semangat ngejar olimpiade
fisika.
“Enggak perlu cari pacar juga nggak papa, sih, kalau dengan
senang hati seorang Narajengga mau menari poco-poco di tengah lapangan upacara
waktu istirahat pertama selama seminggu aja,” tawar Jatra sekali lagi sambil menahan
tawa. “Gimana, mau pilih yang mana?”
“Udah, nari aja nggak papa,” usul Rasi, masih sibuk membaca
koran di tangannya. “Kapan lagi kan ada hiburan?”
Jatra pun langsung mengangkat tangannya ke udara, tepat di
sebelah Rasi, yang tentu saja langsung disambut bunyi suara tos dari
bertepuknya dua tangan manusia di sana.
“Singgo!”
“Hahaha….” Rasi dan Jatra lantas tertawa.
Apa? Menari poco-poco? Di tengah lapangan upacara? Jam
istirahat pertama? Selama seminggu pula?
Oh, tentu saja tidak adalah jawaban dari pemuda Alugara.
Jengga masih cukup waras, ya, untuk berdamai dengan trigonometri dan
kawan-kawannya. Dia tidak butuh lagi dengan tambahan kerumitan dalam hidupnya
karena harus menari di tengah lapangan upacara.
Tidak! Terima kasih untuk tawarannya.
“Karena sebagai calon prajurit sejati, maka janji harus tetap
ditepati,” putus Jengga. “Jadi tantangan diterima.”
Pemuda Parikesit yang dari tadi sibuk membaca lantas langsung
melipat koran di depannya. Dua detik ia terkejut namun juga tersenyum tipis ke
arah Jengga.
Sungguh benaran ini? Karena bagi Rasi, ini cukup jadi hal
yang jarang sekali terjadi. Kita semua mungkin tahu juga, seberapa indah paras
Narajengga di antara manusia SMA Nagara. Namun anehnya pemuda itu bahkan sama
sekali tidak berkeinginan untuk mewarnai masa remaja dia dengan kata berjenama cinta,
tapi ini di bawah langit Yogyakarta siang ini, tiba-tiba… seorang Narajengga
Alugara bersedia menerima.
Pemuda Parikesit itu lantas langsung sigap berdiri memberi
tepuk tangan dengan wajah datarnya. Pun diikuti dengan Jatra.
“Telek!” umpat sang pemuda Alugara.
“Tapi aku mau nambahin satu syarat lagi,” ucap Jatra.
“Apa?”
“Karena ini anak satu pasti gampang banget kalau cari pacar. Dia
narik sembarang cewek di sini juga pada mau dijadiin pacar. Jadi kita milih ceweknya
pakai kekuatan pensil ajaibnya Rasi. Adilkan ini?” ujar Jatra bahagia, kan
kapan lagi dia bisa mengerjain seorang Jengga.
“Oke, tapi aku juga mau nambahin,” celetuk Jengga, meraih
pensilnya Rasi di meja. “Kalau nanti pensil ini nunjuk ke cowok atau malah sama
sekali nggak nunjuk ke arah orang selama tiga kali percobaan. Batal, ya?”
“Emang wedhus ini anak, mentang-mentang paling banyak akalnya
bisa aja kalau cari celah,” gerutu Jatra, sambil memasukan satu siomaynya ke
dalam mulut. “Ya udah, oke. Sekarang kita lihat pensil ini mengarah pada siapa nasib
Narajengga Alugara berada.”
“Diputer di sini?” sergap Jengga.
“Jelas! Mumpung banyak anak cewek yang lew—ah atau diputer di
kelas aja yang lebih banyak orangnya?”
“Nggak-nggak, di sini aja!”
“Cih!”
Pensil itu pun Jengga putar di atas meja. Dari putaran
pertama hingga jatuh di percobaan kedua, selalu berujung dengan tak ada manusia
yang tertuju di sana. Mulai bahagia wajah seorang Narajengga. Namun ketika
diputaran terakhirnya. Dari sudut ke sudut, pensil itu berhenti pada satu titik
yang agak jauh dari mereka.
Sebuah pohon rindang.
Berseroklah Narajengga saat itu juga, lengkap dengan kepalan
tangan yang mengayun ke udara. Sesuai dengan kesepakatan tadi, selama tiga kali
percobaan tidak ada yang ditunjuk sama sekali.
Maka perjanjian batal.
“Eh, eh, eh… itu ada siapa?” bisik Jatra menunjuk ke arah
pohon.
Sorakan pemuda Alugara itu akhirnya berhenti, tepat ketika ia
juga menyadari. Ah, semesta. Kenapa bahagia itu harus cepat sekali perginya?
Sial. Ternyata ada seseorang yang berada di balik pohon di sana. Dalam hitungan
singkat membuat kurva bahagia Jengga luntur seketika.
Akan tetapi lunturnya senyuman pemuda Alugara itu bukan
karena adanya seseorang di sana, tetapi dengan siapa gerangan gadis yang kini
terlukis tepat di depan iris matanya.
Aliran aneh dari ruangan di dalam sukma itu tiba-tiba bergerak
cepat ke seluruh penjuru raga. Napasnya bahkan mulai diburu dengan lebih gila.
Semesta yang maha baik, Jengga tidak pernah meminta hal ini akan
terjadi padanya secepat kilat di angkasa. Namun kenapa justru cerita ini tiba
dengan rencana tak terduga?
Apakah ini sebuah pertanda?
Bahwa berakhirnya sebuah cerita antara manusia dari menyukai seseorang
di dalam diamnya sukma.
Rasi yang melihat gadis itu pun refleks menjatuhkan koran di
atas meja. Dari sekian banyak gadis di SMA Nagara. Kenapa harus dia yang berada
di sana? Ia lihat raut Jengga yang sudah terpaku pandangannya.
Mungkinkah… segitiga rasa itu benar-benar ada di antara
cerita?
Jatra pun lantas merangkul bahu pemuda Alugara. “Selamat
berjuang ya, Pret!” bisik Jatra. “Dengar-dengar Lintang nggak suka pacaran.”
**
“Sekarang aku jadi sedikit paham,” gumam Lanang. Selepas mengingat
sesuatu diingatan. “Jangan-jangan misi pertama Jengga itu waktu ngejar Lintang
di Maliboro, ya?”
Jatra langsung menolehkan kepala. “Oh, kamu juga tahu soal
itu?”
“Kemarin Lintang sempat cerita pertemuan mere—”
“Rasi!” teriak seseorang dari arah panggung di depan,
memotong ucapan Lanang. “Ayo, giliran kamu ngisi sekarang.”
Tanpa menunggu berlanjutnya ucapan pemuda Nabastala, seraya membawa
gitar Rasi sudah berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju panggung di
sana.
“Rasi ke mana?” tanya Lintang, gadis dengan atasan kaus putih
lengan pendek dan bawahan dari kain batik yang dililit membentuk rok di bawah
lutut itu menaruh minuman Rasi.
“Itu anaknya ada di panggung.” Jatra sudah menunjuk seorang pemuda
dengan flannel cokelat muda di sana.
Jemari itu beberapa kali mengetuk mikrofon di depannya. Memastikan benda pengeras
suara itu benar-benar sudah menyala.
“Perkenalkan, saya salah satu mahasiswa arsitektur dari
kampus Bulaksumur. Nama saya Jajar Rasi Parikesit. Biasa dipanggil Rasi atau Mas
Rasi juga boleh. Nama panggilannya memang cukup singkat, tapi semoga bisa selalu
kalian ingat.” Tepuk tangan itu mulai mengudara dari penonton di sana. Pemuda
Parikesit itu menjauh sebentar dari mikrofon di depan dia, hingga akhirnya ia melanjutkan
perkataannya. “Sebenarnya sore hari ini saya ingin membawakan satu lagu bersama
gitar saya… tetapi di menit terakhir tadi, saya jadi ingin menyanyikan lagu yang
berbeda.
“Lagu yang akan saya bawakan ini seperti sebuah ungkapan dari
pertanyaan nan panjang. Lagu yang semula hanya dari angan berharap suatu saat diberi
kesempatan menjadi sepasang. Lagu ini juga yang menjadi bagian dari kisah saya.
“Jadi pertama kali saya bertemu dia… ketika duduk di bangku
SMA, sejak saat itu mungkin pertama kalinya juga saya merasa, kalau kata para
manusia ahli rasa, ini yang namanya jatuh dan cinta.”
Ratusan manusia di Puncak Sosok itu cukup terkesima mendengar
bagaimana Rasi menuturkan mula dari kisahnya. Lintang yang menyaksikan pun melukis
sabit tipis di air muka. Sambil memeluk kedua lutut di atas tikar, berulang
kali gadis Pawening itu mengusap lengan yang sepertinya mulai kedinginan.
“Namun cerita cinta seorang Rasi ini waktu itu sayangnya
harus bertemu dengan kisah yang biru kelabu. Yang harus rela melihat dia berada
pada pelukan sang langitnya. Sampai suatu hari datanglah kesempatan kedua
setelah lulus SMA. Langitnya itu kebetulan adalah sahabat baik saya, sebelum ia
berpulang dipeluk eratnya butala. Ia menitipkan satu pesan ini pada saya. Sang
langit itu bilang begini… ‘Aku percaya, rangkulmu mampu menjadi rumah yang
baik untuk tangisnya. Maka dari semua… aku titipkan semestaku pada hatimu, ya?’”
Suara decakan itu mulai mengudara terasering di sana. Puncak
Sosok disulapnya menjadi sebuah pertunjukan romansa yang sederhana dalam
cerita. Rasi pun lantas beralih pada kibor piano di belakangnya. Jemari itu
sudah siap menekan tuts di sana.
“Maka dari itu. Setelah sekian lam… hari ini saya ingin
menyayikan lagu ini untuk dia. Semesta dari sahabat saya, dan kini juga menjadi
bagian dari semesta yang saya punya. Lintang… lagu ini untuk kamu, dari aku
dipertemuan pertama kita yang dulu. Monita… Kekasih Sejati.”
Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak
berharap
Kau membuat waktuku
Tersita dengan angan
tentangmu
Pada tikarnya Lintang bisa melihat. Angin seolah membawa perasaan
dari suara Rasi menuju ke arah hatinya begitu dekat. Langit senja yang menjadi
latar di mana pemuda Parikesit itu bersenandung suara. Benar-benar menjadi
pelengkap yang terlukis begitu sempurna.
Sore kala itu, banyak manusia menjatuhkan hati pada sesosok
Rasi.
Manusia yang begitu lapang hatinya.
Lanang yang menyaksikan pun harus mengakuinya. Puncak Sosok sore
ini jadi begitu lengkap ketika Rasi berada di sana. Namun disela-sela ia
menyaksikan pertunjukan, ponsel di salam sakunya bergetar tiba-tiba. Segera
pemuda itu berdiri dan berjalan agak menjauh dari mereka untuk mengangkat panggilan
masuk internasionalnya.
Bila kau tak menjadi
milikku
Aku takkan menyesal
Telah jatuh hati
Pada bait tak menjadi milikku yang maha sakti pedihnya,
tak sengaja sembari menerima telpon masuknya Lanang tolehkan kepala pada gadis
Pawening di sana. Entah Lanang baru menyadari, atau memang menyembunyikan satu fakta
ini. Ada desir aneh yang kini mulai muncul dalam tubuhnya. Desiran yang sepertinya
bukan hal baik untuk dia rasa.
Jengga, apa semagis ini yang kamu rasanya dulu? Dalam hati pemuda Nabastala itu bergumam.
Oh, mungkin aku
bermimpi
Menginginkan dirimu
Untuk ada di sini
menemaniku
Oh, mungkinkah kau
yang jadi
Kekasih sejatiku?
Semoga tak sekedar
harapku
Sebuah jaket tiba-tiba menyelimuti pundaknya Lintang. Entah
sejak kapan Pemuda Nabastala itu bisa berada di belakang. Walaupun masih seraya
mengangkat panggilan. Tanpa sepatah kata pada gadis Pawening, Lanang justru
kembali berjalan menjauh dari keramaian.
Lintang termenung dalam banyak jeda, sorot mata itu kini justru
terpaku pandangan pada peraga sang putra Nabastala.
Semoga tak sekedar
harapku
Dari jauh… netra milik Rasi itu sudah disambut dengan sesuatu yang membuat hatinya kembali gelisah. Dari matanya itu pula kini sudah terlukis seorang Lintang yang menatap Lanang tanpa sudah. Rasi masih ingat sekali dengan tatapan indah itu dalam kepala. Tatapan bagaimana gadis itu menjatuhkan rasa pada seorang putra angkasa.
“Tuhan, aku sudah pernah mengalah padanya, akankah kisah ini juga berakhir sama?”
Segitiga rasa yang dulu sepertinya akan kembali terulang Mas Rasi
Kalau saja kedua pualam Lanang tidak seteduh itu, mungkin Rasi tidak akan sekhawatir ini. Namun, tak lain lagi, jika saya berada diposisi Rasi pun saya akan merasakan secemas itu miliknya akan di ambil kembali. Mas Nava, rasa sakitnya berhasil saya rasakan mas, nanti kalau semisal cerita ini dibukukan atau difilmkan mungkin saya akan jadi salah satu orang yang merasakan patah hati berkali-kali.