Polesan #08 • Punakawan dan Jantung Potrobayan

“Di tempat ini mungkin bukan hanya lapar bisa bersua dengan hati yang berdebar. Namun terkadang temu jua bisa menunaikan ibadat rindu.”

Pemuda dengan sepatu putih, berkacamata, lengkap dengan totebag hijau tua berlambang Kartika Eka Paksi di tangan kirinya sudah mengulas kecil sabit kurva. Senyuman sederhana tersebut sudah terlukis hangat selepas pemuda Nabastala keluar dari kendaraan roda empat milik Kala.

Mata hitam teduh itu kembali tertegun sejeda di sana. Sekali lagi Lanang baca satu bait tulisan yang tertera. Sebuah aksara di bawah gambar pewayangan yang tertempel indah di wajah dinding putih tua.

Yang paling depan namanya Semar, biasanya, sih, digambarin dengan jarinya yang menuding ke depan.” Gadis dengan kemeja putih lengan panjang berlapis vest switer tribal itu tiba-tiba menyela. “Kalau tiga gambar di belakangnya… itu Gareng, Petruk sama Bagong. Mereka anak-anaknya Semar.”

Lanang tolehkan pandangan ke gadis Ancala di sebelah dia.

“Pernah dengar nama Punakawan?” lirih Kala, pandangannya masih terkunci pada gambar yang terbuat dari akrilik di depan mereka.

“Punakawan?”

“Iya, Punakawan. Kalau kata simbah, sih, namanya diambil dari kata pana yang artinya paham dan kawan ialah teman. Di tanah Jawa mereka berempat sering dipanggil Punakawan,” jelas Kala, seraya menyenggol pelan lengan kanan sang pemuda Nabastala. “Percaya nggak? Di sini juga ada salah satu yang menyerupai mereka.”

“Di sini?”

“Yap.”

“Siapa?”

“Tuh!” Dagu gadis Ancala tersebut langsung menunjuk Jatra yang berjalan mendekat ke arah mereka dari parkiran motornya. “Bibirnya sudah hampir miripkan ya sama Bagong?” ledek Kala, lengkap seraya menjulurkan lidah di depan pemuda Juanjatra.

“Telek!” ucap Jatra, lengkap dengan lengan yang sudah memiting leher Kala lalu membawa gadis itu masuk ke area halaman depan pendopo.Memble-memble gini, pernah naksir juga, kan?”

Setresnya kapan sembuh sih, Bapak?!” sergah Kala.

“Coba sun pipi dulu sini, entar sembuh.”

“Najis, Jatra!”

Lanang yang melihat pertengkaran Jatra dan Kala langsung menggelengkan kepala sambil menahan gelombang tawa. Seru juga ya kisah pertemanan mereka. Kepala pemuda Nabastala itu pun lantas melihat sekitar Alun-Alun Utara yang menambah banyak senyawa bahagia. Lihat saja, selepas tadi dari Puncak Sosok mereka memutuskan untuk singgah ke sebuah balai makan lawasan yang sudah ramai pengunjungnya.

Berdiri di belakang, gadis Pawening itu mengamati Lanang diam-diam. Satu tapak demi tapak Lintang mulai melangkah, ia mendekat pada tubuh sang pemuda yang sudah berdiri gagah.

“Jengga terkadang juga seperti Semar,” celetuk Lintang begitu ia sampai didekat Lanang. “Dia kalau sedang bingung. Jari telunjuknya sering menuding ke depan.”

“Masih begitu melekat ya tentang Narajengga?”

Pertanyaan kecil itu justru sedikit diabaikan oleh Lintang. Hanya sebuah ulasan senyuman yang kini pertama kali menjadi jawaban.

“Ada yang sudah lama menghilang, tapi rindunya justru semakin rimbun diingatan. Mungkin seperti itu seorang Narajengga diingatanku sekarang,” lirih Lintang. Tiba-tiba saja gadis dengan rok hitam di bawah lutut itu mengulurkan jaket denim yang tadi sempat Lanang pinjamkan. “Ini jaket punya kamu. Makasih, ya?”

“Kembali.” Sambil menerima jaket, Lanang akhiri dengan senyuman.

Dari dua manusia itu sekarang. Kini bila dilihat jauh lebih dalam. Seperti sebuah permainan tanpa ada kesudahan.

Bagaimana tidak semesta?

Jika saja tadi Lintang tengah memandang punggung lebar Lanang, sekarang giliran seseorang yang melihat punggung belakang Lintang dari kejauhan. Pemuda Parikesit dengan gitarnya itu kini yang bergantian melihat Lintang dan Lanang dari belakang.

Lagi-lagi perasaan cemas yang naik kepermukaan hati itu mulai menjalar keseluruh bagian raga hingga sudut pikiran. Bayang-bayang seorang Narajengga Alugara sungguh melekat begitu nyata pada raga milik Lanang. Dan kegelisahan kini menghantui di sudut perasaan.

Semesta, siapa sih yang tidak takut dengan kehilangan?

Lintang, apakah sesulit itu menempatkanku di perasaanmu?

Selepas bermonolog sebentar dalam batin. Rasi langkahkan tungkainya kembali. Sayang, kamu mau nitip apa?” tawar pemuda Parikesit begitu sampai didekat Lintang. Aku mau pergi ke minimarket sebentar soalnya.

Air putih aja.”

“Itu aja?” Lintang menganggukan kepala. “Ya udah, ayo aku antar kamu masuk ke dalam dulu.”

Dua manusia yang sudah terikat pada satu kata istimewa itu lantas melangkahkan tungkainya ke dalam. Sedangkan dipijakan trotoar pemuda Nabastala hanya memandang ke arah Rasi yang tengah merapikan anak rambut Lintang sambil berjalan.

Entah mulai sejak kapan, setiap gerak-gerik kecil mereka, kini Lanang jadi sering memperhatikan.

“Bukankah mereka sepasang yang manis?” gumam Lanang.

Jenjangnya tungkai Lanang pun lalu mengikuti mereka melaju ke tempat di mana Jatra dan yang lainnya sudah duduk di bangku outdoor halaman pendopo rumah makan. Namun ketika hampir sampai suara seseorang sudah lebih dulu menghentikan pergerakan.

“Mas Lanang?” teriak Langit, dari arah utara.

“Loh, ngapain ini si genter di sini?” Dari bangku, justrua Jatra yang sudah berseru menjawab panggilan Langit. “Habis ngapelin cewek pasti ini si genter.”

Emang Mas Jatra, ngapelinnya janda bolong?” ejek Langit, menjulurkan lidah. Pemuda Engabehi itu jadi teringat beberapa waktu lalu bertemu dengan Jatra di salah satu penjual tanaman hias.

“Wedhus! Sini kampret!”

Melihat mereka berdua kejar-kejaran, Lanang jadi berpikir panjang. Jangan-jangan keahlian tersembunyi seorang Jatra itu memang membuat keributan? Dari tadi sepertinya hobi sekali melakukan invasi peperangan.

Pemuda Nabastala itu menggelengkan kepala. “Kamu udah makan?”

Udah tadi, tapi kalau mau ditraktir lagi sama Mas Jatra, Langit sih nggak nolak,” jawab Langit, tubuhnya sudah berada di belakang Lanang sambil mengatur pernapasnya karena tersenggal habis dikejar Jatra.

“Emang dedemit!”

Sambil mengulas tawa, dua kakak beradik itu lantas menuju ke tempat duduk mereka, pun beberapa saat disusul oleh Jatra.

“Kamu di sini juga?” Rasi adalah orang pertama yang berseru, begitu mengantarkan Lintang pada tempat duduknya.

“Iya nih, Mas. Habis dari Mantrijeron tadi, karena deket jadi disuruh Mas Lanang buat jemput ke sini sekalian,” jawab Langit, menampilkan wajah seribu harapan. “Eh, malah dapat rejeki mau ditraktir Mas Jatra.”

“Kagak anjir! Bayar sendiri ya tuyul!”

“Tipis banget sih dompet mentang-mentang yang tebal bibirnya.”

“BADAK!”

Satu kumpulan manusia di meja itu sudah mengeluarkan suara tawa. Sepertinya Lanang harus menyimpulkan satu jawaban juga, bahwasannya kalau membuat Jatra kesal adalah jalan pintas menemukan cara bahagia.

Lintang yang melihat menggelengkan kepala langsung bersuara. “Ya udah, aku aja yang traktir Lang—”

“Nggak usah, ak—”

“Nggak usah—”

Manusia Engabehi itu langsung melihat ke arah Lanang dan Rasi yang tiba-tiba serempak berucap bersama. “Astaga jadi terharu Langit dengernya, tapi tenang aja, berhubung malam ini niat Langit mau plorotin uang Mas Jatra. Jadi hari ini Mas Jatra aja yang traktir Langit.”

Kala yang sudah duduk manis langsung mengangkat telapak tangan kirinya, yang disambut juga oleh tos tangan kanan dari Langit.

“Dedemit emang ini dua setan, tahu aja kalau baru dapat trasnferan,” gerutu Jatra, matanya sudah menyipit sekecil garis horizontal. “Ya udah, aku aja yang traktir semua.”

“Nah gitu dong dari tadi,” celetuk Langit, bersemangat. “Kan ini membuktikan dompetku sesuai tebal bibirku .”

Saranghae, Mas Jatra,” celetuk Kala.

“Telek!” ketus Jatra, lengkap memberi hadiah polesan kepala pada dua curut di sebelah dia.

Lagi-lagi mereka yang sudah duduk di sana pun lantas puas tertawa. Memang yang indah itu bukan selalu berasal dari seberapa mahal ke mana mereka berada, tetapi seberapa dekat tawa itu menghimpun kisah mereka.

“Aku ke minimarket dulu. Nanti pesanin aku kayak biasanya aja, ya?” bisik Rasi pada Lintang, pemuda Parikesit itu pun kini mulai berjalan kembali ke arah motornya berada, berniat mencari minimarket di sekitar nDalem Yudonegaran.

“Ya. Kamu hati-hati di jalan.” Didekat pendopo, Lintang lantas berdiri dari bangkunya. “Kalian mau pesan nasi apa, goreng, kuning atau gurih?”

“Kuning!” Tiga manusia penuh dengan bara semangat itu kompak berseru, membuat Jatra, Kala dan Langit saling melempar tatapan.

“Apaan jadi pada ngikut-ngikut Langit?” sembur pemuda paling muda.

“Situ yang ngikutin ya, Wedhus!” balas Jatra.

“Kalian berdua ini yang ngikutin Aurora!”

Demi perdamainan di bumi. Justru perdebatan untuk kesekian kalinya pun dimulai kembali. Lintang pun langsung memijat pangkal hidungnya lagi. Benar-benar tiga manusia ini.

Gadis Pawening itu mengalihkan pandangan ke pemuda yang justru sudah sibuk memeriksa sesuatu dalam ponselnya. “Lanang, kamu mau pesan nasi apa? Goreng, gurih atau mau sama kayak mereka?”

Yang ditanya menoleh sebentar, lalu menggaruk tengguk belakangnya bingung. “Em… kalau Jengga dulu sukanya apa, ya?”

Tiga manusia yang tadi sedang meributkan siapa yang meniru pun tiba-tiba bergeming seketika. Kala yang duduk di sebelah Jatra menoleh lalu berujar sepontan. “Jengga mah sukanya Lintang.”

“Mas Lanang suka juga?” tambah Langit.

Seperti suara guntur yang datang dari mata angkasa. Lintang yang ingin meneguk ludahnya justru tersedak tiba-tiba. Pun dengan Rasi yang keberadaannya masih tak jauh dari mereka, pemuda Parikesit itu menahan langkah lebih lama seraya mengepalkan genggaman tangannya.

**

“Emangnya, Mas Ganteng ndak suka permen, ya?” Suara bisikan dari gadis kecil berseragam taman kanak-kanak itu mengalun lembut di telinga. Telapak tangan kecilnya sudah menerima satu potong permen lolipop dari Narajengga. “Terus, sukanya apa dong?”

Sambil melipat kedua lututnya untuk menyejajarkan pandangan. Pemuda Alugara dengan seragam putih dengan bawahan krem dan dasi hitam itu bergumam pelan. Ia tatap gadis kecil bermata indah di depan.

“Emmm, apa, ya?”

“Cokelat?”

Pemuda Alugara menggelengkan kepala.

“Terus apa dong sukanya?”

Lintang.”

“Ah….” Gadis kecil itu mengangguk sembari membuka mulutnya lebar. “Jadi sukanya permen lintang? Pasti rasanya manis banget, ya?”

Mungkin ada benarnya, anak kecil itu jujurnya luar biasa. Tahu saja kalau Lintang begitu manis di kedua mata sang pemuda Alugara. “Iya, Lintang itu manis banget.”

Dari titik pijakan yang lumayan cukup jauh, seorang gadis berseragam senada dengan Jengga tiba-tiba terbatuk sambil menyeka sedikit peluh.

“Lily seneng banget ya dijagain sama Masnya?” Seseorang yang tadi menitipkan gadis kecil itu pada Jengga sudah kembali. Ia pandang pemuda di depan si kecil. “Makasih banyak ya, Mas, sudah mau saya repotin buat jagain Lily sebentar.”

Pemuda Alugara itu lantas menegakkan tubuhnya untuk berdiri. “Sama-sama, Ibu. Lagi pula nggak ngerepotin juga.”

“Lho Lily dapat permen?” ujar sang ibu. “Bilang apa sama Masnya?”

“Makasih ya, Mas Genteng.”

“Sama-sama….” Sambil tertawa pelan, Jengga melambaikan telapak tangan ke arah gadis kecil di depan. “Dada, Lily.”

Bye bye juga Mas Genteng.”

Dih, narsis banget itu manusia. Di mana-mana dipanggil Mas Ganteng. Emang seberapa ganteng sih  dia sampai dapat julukan itu?

Lintang yang dari tadi bergumam sambil memperhatikan mereka sudah tak habis pikir. Bisa-bisanya juga gadis Pawening itu menyaksikan pertujukan tersebut sampai akhir.

Tunggu, kenapa juga aku malah mikirin letak gantengnya di mana?!

Sambil menggelengkan kepala, membuang segala huru-hara, kini Lintang padangan sebuah benda berona biru di tangan kanannya. “Ini juga! Kenapa tadi pagi aku terima ini payung?!” lanjutnya menggerutu sambil menghela napas panjang.

Payung lipat dengan corak warna biru dongker dan logo Swa Bhuwana Paksa itu hanya Lintang pandangi lamat-lamat. Manik cokelat terang itu terus saja melihat tanpa sekat, sedangkan bibir bawah gadis Pawening kini jadi mengatup begitu rapat.

Kali ini mungkin di kepala sudah ada banyak kosakata yang ingin Lintang rangkai menjadi satu, akan tetapi tetap saja sulit untuk diucapkan dalam satu temu. Rangkaian kata-kata itu tak mau menyatu dalam pikirannya yang semakin kalut tak tentu.

“Harus ngomong apa lagi nanti?! Bilang makasih banyak, ya’ gitu?” gumam Lintang, menimbang-nimbang gengsinya yang cukup tinggi. “Bisa langsung besar kepala itu manusia. Nggak bisa, nggak bisa!”

Lagi-lagi kejadian pagi tadi kembali terlintas. Hujan dan kalimat terakhir sang pemuda Alugara bak ucapan afinitas. Jangan sakit ya, calon pacar barunya Narajengga. Ampun! Siapa, sih, yang mau jadi calon pacarnya?! Mengingat perkataan itu saja kini membuat Lintang jadi pusing kepala. Belum lagi, pernyataan Jengga di Instagram beberapa hari lalu yang sampai sekarang masih menggemparkan seisi penjuru SMA Nagara.

Yogyakarta, permainan apa ini yang sedang coba kau tunjukan?

Bisa tidak bercandanya berhenti dulu?

Belum pernah Lintang merasa segelisah ini cuma gara-gara satu tingkah manusia. Kini dalam benak gadis itu sudah banyak tanya yang bercabang ke mana-mana?

Apa, sih, itu maunya manusia Alugara?!

Perkara hati manusia memang sulit untuk diterka. Ada saja hal tak terduga yang selalu menyelip di dalamnya.

Gadis itu semakin dibuat kalut di kepala. Walau kini di depan dia sudah ada pemuda Alugara yang berdiri di samping pintu pagar SMA Nagara. Namun Lintang bingung untuk mengembalikan payung di tangannya.

Kalau saja ia bisa mempercepat waktu putaran bumi. Ingin sekali Lintang kembalikan payung itu lalu berlari sekuat tenaga supaya menghapuskan jejaknya ini. Namun baru dia ingin berniat melangkah, seorang gadis yang tentu saja Lintang tahu namanya siapa, sudah lebih dulu mendekati Narajengga.

“Kok tumben, sepeda kamu di mana?” tanya Kahyun. Gadis berkucir yang dari dulu paling dekat dengan Jengga itu sudah mendekat, lengkap melingkarkan tangannya ke lengan pemuda Alugara.

Jengga hanya memperhatikan sebentar tangan itu melingkar, tapi enggan untuk melepaskan. “Baru sakit si putih, jadi aku suruh istirahat aja dia di rumah.”

Uh, baik juga ya ternyata majikan satu ini?”

Sambil mengulas sedikit tawa, Jengga berkata. “Ke mana aja kamu baru tahu kalau aku sebaik itu?”

“Dih, sejak kapan narsisnya jadi segede gaban, Pak?” ledek Kahyun, bibir itu sudah mengerucut ke depan. “Tapi nggak kaget juga, sih, kalau kamu baik, udah kelihatan juga dari SMP.”

“Merhatiin banget dari SMP?”

“Buat kamu apa, sih, yang nggak aku perhatiin?”

Anak-anak yang tadinya tengah menunggu jemputan didekat gerbang sekolah pun sudah menolehkan pandangan ke arah mereka. Lengkap dengan suara sorak-sorai orang yang tengah ngecengin temannya. Pun juga termasuk Lintang yang kini berdiri agak jauh di belakang mereka sudah merotasikan bola mata.

“Sekali buaya, ya begitulah buaya,” gumam Lintang. “Itu tangan nggak dilem sekalian juga?!

Sekarang sudah tahu bukan salah satu alasan Lintang malas sekali berurusan dengan seorang Narajengga Alugara? Ya, begitulah sedikit gambaran pemuda yang suka menebar pesona keseluruh pelosok anak-anak perempuan di Nagara.

Eh, tunggu dulu!

Kenapa malah jadi semakin gerah aja gadis Pawening itu berdiri di belakang mereka? Kenapa juga dia merasa kepanasan padahal sekarang jelas-jelas tampak mendung di langit sana.

“Lintang, sadar, Lintang!” Satu telapak tangan yang kosong sudah menepuk beberapa kali sisi wajah gadis Pawening bergantian.

Dari bibir jalanan tiba-tiba sebuah kendaraan SUV dengan rona hitam mengkilap menepi. Kaca mobil itu sudah turun dan menampilkan sesosok Awan di balik setir kemudi. “Eh, ada Kahyun juga di sini?”

“Siang, Om Awan.”

“Kamu nungguin jemputan juga?”

“Sebenarnya Kahyun boleh nggak kalau mau—”

Belum sempat untuk berkilah memberi alasan, sudah ada mobil sedan di belakang mereka yang datang. “Kahyun ayo pulang!” Suara bariton dari dalam mobil langsung membuat gadis Seruni Arum melipat wajahnya kesal. “Cepetan sekarang!”

Nyebelin!” gerutu sang gadis Seruni Arum, pelan. “Om Awan, Kahyun pulang duluan, ya? Dadah, Jengga.” Setelah melepas tangannya yang melingkar di lengan, dengan langkah berat gadis itu berjalan ke arah mobil di belakang.

“Kamu itu bisa aja ya kalau cari cewek?” gurau sang ayah.

“Dia bukan pacarnya Jengga ya, Ayah.”

“Bukan pacar, tapi lengket banget tadi tangannya.”

“Sengaja, sih.”

Satu alis Awan terangkat. Sengaja?”

“Bentar.” Seketika Jengga langsung memutar kepalanya ke arah dalam pagar sekolah di belakang dia.

Di tempatnya, Lintang yang tiba-tiba ditatap pun seketika langsung buyar dan membuang pandangan ke sembarang arah. Bodoh, bodoh, bodoh… Lintang bodoh banget, sih, kamu! Katahuankan kalau matanya dari tadi lagi jelalatan!

Sambil melukis senyuman sederhana, Jengga lalu berkata. “Bentar ya, Ayah? Ada yang mau Jengga kenalin sama Ayah.” Dengan gerakan secepat kancil mengampiri, pemuda itu langsung mendekat ke arah di mana Lintang tengah berdiri. “Udah belum?”

“U-udah apanya?”

“Cemburunya tadi?”

“Hah?”

Sebentar, sebentar, sebeeeeentar!

Jangan-jangan dari tadi itu diam-diam Jengga sudah menyadari kalau Lintang di sini sedang memperhatikan dia? Mampus! Kukut sudah saja kamu Lintang Pulung Pawening! Gadis itu pun langsung menunduk, pandangannya tertuju ke arah sepatuh hitam di bawah sana. Ingin rasanya kepala itu masuk ke dalam kantong plastik hitam raksasa. Atau kalau perlu, tolong siapa saja yang ada di sini bawa Lintang pergi sekarang juga.

“Kamu itu kalau jutek sama aku, udah nggak heran, ya,” ucap Jengga, menahan gejolak tawa di ruang mulutnya. “Tapi lihat kamu bisa malu begini… kenapa jadi makin lucu aja, ya?”

Diem!”

Iya, ini aku diem, tapi udahan dulu malunya bisa? Nanti aku yang repot ngelihatan kamu yang makin lucu.

“Narajengga Alugara!” ucap Lintang, mengaskan setiap suku kata.

Manusia yang mempunyai nama lengkap itu pun sudah tak bisa lagi menahan gelombang tawanya. Suara itu keluar begitu renyah dari raga. Semesta, ternyata mendung menjalang sore kali ini ada hal yang membuat hatinya begitu merasa bahagia.

Dengan wajah masamnya Liantang berucap. “Udah?”

“Sayangnya?”

“Bikin keselnya!”

“Belum.

Untuk kali pertama, dengan mudah tangan pemuda Alugara menarik lengan Lintang ke arahnya. Membawa tubuh ramping gadis itu mendekat sepersekian detik pada sang raga. Bertemulah kontak mata si cokelat terang dan sang hitam tinta yang kini hanya berjarak beberapa jengkal saja.

Ikut aku bentar mau? Ada yang pengen kenalan sama kamu.”

Belum sempat mengiyakan perkataan Jengga, gadis Pawening itu sudah lebih dulu dibawa sang pemuda Alugara mendekat ke arah mobil yang terparkir di depan SMA Nagara.

“Ayah, ini Lintang.”

“Oh, jadi kamu ya pacarnya Jengga?” ujar sang laki-laki dengan baju dinas harian berona hijau tua.

Spontan saja tanpa menunggu jeda segala, bola mata Lintang sudah terlanjur membulat sempurna. Gesit dia tolehkan kepalanya pada Jengga di sebelah dia yang lagi-lagi sudah menahan gejolak tawa.

Memang minta dipukul pakai sapu lidi pemuda Alugara satu ini.

Bisa-bisanya tanpa aba-aba, tanpa rencana pula. Lintang berhadapan dengan situasi yang semakin membuat kepalanya berasap seketika.

Hari ini Lintang keburu pulang nggak?” tanya Awan.

Gadis yang kini pikirannya baru berada di antara badai topan dunia itu malah menjadi gelagapan. “Gi-gimana, Om?”

Kamu maunemenin Om sama Jengga sebentar?”

“Lintang—”

“Mau kok, Ayah,” potong sang pemuda Alugara. Kebiasaan memang! Belum sempat Lintang untuk menyelesaikan, pemuda bermata hitam tinta ini sudah hobi memotong ucapan. “Udah kamu ikut aja, cuma sebentar. Nanti kalau kamu dimarahin Bunda karena telat pulang, aku yang pasang badan, tapi kalau masih tetap nggak mempan. Nanti biar Ayah si paling ganteng ini yang maju di garis terdepan,” lanjut Jengga, tangan itu sudah membukakan pintu belakang.

Kebiasaan Ayahnya yang jadi tumbal,” lirih Awan. “Kan kamu yang maksa Lintang buat ikutan, jadi kamu nanti yang harus belajar rasa tanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan.”

“Ya udah deh nggak papa. Hitung-hitung Jengga belajar menerima kemarahan dari calon mertua.”

Dengan refleks telapak tangan gadis itu pun langsung menepuk bahu Jengga. Dua kali bola mata Lintang dibaut melotot dengan sempurna. Ini anak memang pencari gara-gara sepenghuni jagat raya. Bisa-bisanya dengan enteng dia berucap seperti itu di depan ayahnya. Namun bagi Awan yang melihatnya, ia sudah lepas tangan untuk menanggapi kelakuan sang putra.

Udah ayo buruan masuk, Tuan Putri. Pegel ini lama-lama tangan pengeran megangin pintu,” rengek Jengga, wajahnya sudah ia tampikan mayun di sana. “Aku hitung sampai tiga aja, deh. Kalau nggak masuk, aku gendong aja. Satu—”

Jengga langsung tersenyum begitu melihat gadis di sebelahnya itu kini naik ke dalam kendaraan. Ya walaupun dua detik selepasnya Lintang kini merutuk dengan yang barusan ia lakukan.

Bisa-bisanya juga kenapa aku jadi penurut begini?

Lintang itu beneran pacarnya Jengga?”

“Bukan, Om,” jawab gadis Pawening. “Kita cuma teman aja.”

“Tapi Lintang suka nggak sama anak Om?”

Satu pertanyaan yang dilontarkan barusan seperti mendapat soal fisika kuantum dan proses energinya. Gadis Pawening itu langsung termangu entah harus menjawab apa. Ya kali Lintang jawab suka, bisa besar kepala nanti energi manusia Alugara. Namun kalau dia jawab enggak, bisa mati berdiri bak kena serangan bom atom saja gadis Pawening itu nanti selama di dalam mobil ini.

Kenapa perkara begini saja sulit sekali untuk dijawab astaga?!

Awan yang melihat gelagat Lintang malah tersenyum kecil. “Kalau belum suka juga nggak papa, tapi sepertinya anak Om yang beneran suka sama kamu.”

Gimana, Om?”

“Itu, mimipinya Jengga bahkan bisa kamu bawa.”

Lintang lantas menunduk ke arah pandangan Awan berada, ternyata pada payung biru dongker yang sedari tadi masih berada di tangan kirinya.

Mimpinya Jengga?

Hayo, kalian lagi ngomongin apa?” ucap sang pemuda Alugara begitu duduk di sebelah Awan.

Ngomongin kalau Lintang ternyata nggak suka sama kamu.”

“Bukannya nggak suka, Ayah, tapi belum suka aja.”

“Dih, kenapa kamu jadi ngarep banget gini?” cibir Awan yang justru membuat Lintang malah mengulas senyuman. Rasa-rasanya gadis Pawening itu jadi rindu dengan kenangan yang sedang dia lihat sekarang. Perdebatan kecil antara seorang anak dengan ayahnya tersayang.

“Ngomong-ngomong, kita mau pergi ke mana ya, Om?”

Laki-laki yang kedua pundaknya terdapat tanda pangkat perwira menengah itu lantas menolehkan kepala ke belakang. “Kita pergi ke salah satu titik pusat patah hatinya Jogja.”

**

“Kenapa ngelihatnya begitu?” Baru juga mereka sampai di tempat tujuan, Jengga sudah ditodong saja dengan tatapan mematikan selepas ia menutup pintu depan kendaraan. “Ah, butuh peluk, ya?”

Bisa-bisanya kalimat canda itu keluar dengan ringan. Untuk kedua kali lengan sang pemuda Alugara ditabok oleh Lintang.

Gadis Pawening itu pun langsung menggerutu. “Ini, mau ngembaliin payung punya kamu tadi,” ucap Lintang, mengulurkan benda biru dongker tersebut ke arah sang pemuda. “Kata Om Awan tadi, ada mimpi besar yang hidup di payung ini.”

Jengga raih payung biru tadi, beberapa saat kemudian pemuda Alugara mengambil sepidolnya di dalam kendaraan. Lintang yang memperhatikan pun juga dibuat kebingungan, entah tulisan apa saja yang tengah Jengga guratkan. Namun beberapa jeda setelahnya, tiba-tiba payung biru tadi dikembalikan lagi pada Lintang.

Aku boleh minta tolong?ucap Jengga dengan posisi bersandar di badan kendaraan. Tangannya sudah mengulurkan ke telapak tangan Lintang, tak lupa dengan sebuah tatapan mata yang melukis senyuman. “Karena sekarang, kamu juga jadi bagian dari mimpinya Narajengga. Jadi kamu simpan dulu, ya?

Cie-cie pacaran nih, ya?”

Tiba-tiba dari belakang mereka, sudah ada segerombolan sepeda anak-anak yang melintasi Lintang dan Jengga. Gadis Pawening yang tiba-tiba jadi pusat perhatian jadi gusar seketika.

Tadinya mau aku sautin aja. Iya, nih, lagi pacaran. Pengen, ya?” ledek sang pemuda Alugara. “Tapikan lupa kita belum pacaran. Jadi gimana nih, mau kapan pacarannya? Sekarang aja, ya? Biar bisa langsung aku jawab tadi ledekan anak-anak tadi.”

“Ngarang! Dah ah, aku mau nyusul Om Awan!”

Meskipun masih terlihat agak kusam wajah bumantara di atas mereka. Namun Jengga bisa melihat dengan sederhana, bagaimana rona merah muda sudah terpulas di air muka Lintang begitu nyata.

Ah, semesta! Kenapa bahagia begini ya hanya dengan melihatnya?

Sambil berjalan mendekat ke arah tugu peringatan, Lintang sudah berusaha membuang segala rasa groginya yang datang. Berbicara dengan Narajengga ternyata melelahkan juga untuk kesehatan perasaan. Bisa-bisanya manusia satu itu mengacaukan segala kerisauan.

Baru sempat gadis Pawening itu berdiri di sebelah kirinya Awan di depan sebuah batu monumen peringatan, matanya langsung cekatan membaca setiap aksara yang terpahat di lapisan permukaan. Satu huruf demi satu kata mulai Lintang baca, hingga bibirnya berhenti pada satu kalimat yang ingin membuat dia mengulanginya.

Bumi ini adalah milik Tuhan Yang Maha Esa dan dititipkan kepada kita semua, untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya. Jangan membuat kerusakan. Tetaplah menjaga bumi ini.

Kalimat itu benar-benar terpahat begitu jelas pada papan marmer di sebuah tugu peringatan. Lintang tak habis pikir sekarang, ternyata ada tempat seperti ini di bagian sekitar selatan.

Yogyakarta, tempat apakah ini? Sampai tadi Awan bilang kalau ini salah satu pusat patah hatimu.

Jengga yang baru tiba di sebelah gadis Pawening lantas menundukan kepalanya sebentar, baru selepas itu ia kembali berujar. “Selamat datang di bumi Potrobayan, jantung episentrumnya gempa bumi Jogja.”

Jadi tempat ini, yang dulu pernah mematahkan hatimu, Yogyakarta?

Lintang tatap kedua mata pemuda Alugara di sebelahnya, tiba-tiba terbesit sebuah luka yang terukir di lapisan netra. Entah, sepertinya baru pertama kali gadis Pawening itu melihat wajah Jengga yang sedikit berbeda. Wajah yang mengatakan ada luka di sana. Begitu juga dengan manusia berpakaian dinas harian berona hijau tua. Ada raut sedih yang kini terlukis begitu jelas di sana.

Lintang? Dari titik pusat gempa di daerah sini, dulu Om pernah kehilangan seseorang yang begitu berarti.” Awan sudah berujar, jari-jarinya saling bertautan dibawah sana, akan tetapi pandangannya tetap tertuju pada tugu di depan mereka. “Padahal dulu usia dia baru tiga tahun. Om saja sampai lupa, seberapa banyak dia dulu menangis dan tertawa saat balita. Kenapa, ya? Secepat itu dulu Tuhan mengambilnya?

Pemuda Alugara yang mendengarkan ayahnya bersuara lantas segera memalingkan air muka, kepala itu kini mendongak ke arah langit yang perlahan mulai menampakkan jingga merah bata. Lintang tahu betul bagaimana perasaan ini berada di dalam sukma. Perasaan yang akan mencabik-cabikmu di kala hening itu datang menyapa.

Karena sebaik-baiknya perpisahan, ia tatap menyakitkan, meski harus belajar merelakan dan mengikhlaskan.

Namanya Nabastala Alugara,” ucap Jengga dengan posisi kepala yang masih sama menghadap ke angkasa. “Dia saudara kembarku, Lintang. Seorang putra angkasa juga, yang seharusnya… ia mendapatkan cerita yang indah juga ketika di dunia, tapi semesta, ternyata lebih menyayangi dia untuk berada didekatnya.”

Dari sudut mata itu luruhnya sang Alugara kembali jatuh. Membuat sepasang manusia di sana merasakan hati yang kini tak bisa berwujud utuh.

Lintang keluarkan satu lembar sapu tangan dari dalam tasnya. Lengan itu bergerak pelan dan pelan, hingga saputan itu mengusap bening di bawah mata. “Mungkin benda ini nggak bisa menghapus rasa sedih yang mengakar di dalam hati, tapi semoga dia bisa menjadi teman yang baik untuk melewati segala beratnya ujian hati.”

Pada jingga yang kini mulai menampilkan merah batanya, pada sang bayu yang kini mulai menari di antara pandangan mata. Jengga tatap lekat kedua netra gadis di sebelah dia.

“Kamu tinggal di bumi yang lama, ya?” 

7 komentar untuk “Polesan #08 • Tiga Ribu Senja”

  1. Mas Nava, maaf sedikit lancang tiba-tiba menanyakan kabar anak Mas Nava bernama Untuk Kalan atau Dua Frekuensi Rasa. Apa masih bisa saya membaca keberlanjutan kisahnya kembali? setelah saya tidak tahu berapa kali membacanya di aplikasi oren. Saya masih jatuh cinta dengan anak Mas Nava yang satu itu. Entah mengapa, atau mungkin memang manusia kegemaran saya itu seperti Kalan? atau saya hanya menyukai sosok Na Jaemin sebagai Kalan? Saya tidak tahu pasti, tapi maaf ya Mas Nava saya malah bertanya tidak sesuai topik Tiga Ribu Senja.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

error: Content is protected !!